Seorang pria berpakaian necis yang gagal menutup perut tambunnya berapi-api menutup orasi, "Kemakmuran untuk negara. Kemakmuran untuk rakyat."
Warga bersorak-sorai. Harapan membubung ke langit. Mereka menggantung angan pada awan.
Selanjutnya, berbondong-bondong orang dari kota besar nan jauh membeli tanah-tanah di sekitar. Beberapa warga menjual tanahnya kepada pabrik.Â
Dalam sekejap di tangan mereka berhamburan uang, yang lalu menjadi motor, mobil, kesenangan minum, dan permainan judi.
Loha bertahan. Menolak menjual tanah garapan selama puluhan tahun kepada orang-orang yang mengaku sebagai utusan pabrik.
Pembangunan pabrik pengolahan kemudian memakan hutan dan ladang, dengan kecepatan yang tidak pernah terbayangkan oleh penduduk setempat.
Sebagai penggerak utama dan penerangan, dibuatlah bangunan penghasil listrik. Tak lama di sekitarnya, tumbuh gunungan hitam. Gumpalan-gumpalan legam yang dibawa oleh banyak tongkang dari laut besar.
Setelah semuanya jadi. Warga desa tercengang melihat kompleks pabrik terang benderang, sementara desa menghadapi gelap gulita akibat pemadaman listrik secara bergiliran.
Dari ladangnya Loha terpukau menonton dan mendengar hiruk pikuk kegiatan pabrik. Pun menyaksikan lumpur oranye mengaliri sungai menuju laut. Kikisan tanah mengikuti gerakan air dari hujan lebat, akibat tiada pepohonan yang mampu menahannya. Â
Nestapa melanda Loha. Kesulitan sebagai petani dirasakannya berbeda dengan keadaan dulu. Tanaman lebih lambat tumbuh. Debu oranye lebih sering menutupi tanamannya. Pengairan sulit didapat.
Temannya, Max, pemburu dan petani tradisional menggemakan keluhan Loha. Cahaya dan bising pabrik menakuti rusa buruannya di malam hari. Oleh karenanya, hampir semua pendapatan dari berburu hilang sejak pembangunan pabrik.