Degup dada. Sengal napas tidak lantas menghentikan langkahnya, yang gegas mendaki bukit curam setelah hujan lebat reda. Tiba di ladang hutan, wajahnya mengeras.
Loha meletupkan seruan kecewa. Suaranya bergetar, "Aduh, longsor lagi. Sekarang mereka terjadi di sepanjang waktu."
Tampak tanah berwarna oranye dan berbatu menggelontor. Menerjang tanaman kakao, pala, dan nanas.
Tanah merah-cokelat menerabas pulau hijau, yang dulunya tumbuh subur pepohonan. Namun, barisan kendaraan besar berwarna kuning membabi buta telah merubuhkan hutan.
Pada jejak-jejak mereka lahir bergunung-gunung bongkahan hitam, gudang-gudang berdebu, dan aliran lumpur cokelat.
Loha dan banyak warga teluk mengerti, di desa mereka sedang dibangun pabrik sangat besar dan akan meluas.
Menurut kabar, batuan ditambang lalu diolah menjadi bahan penggerak kendaraan roda dua dan empat. Baru tahulah mereka sekarang, desanya memiliki kekayaan berupa bahan selain bensin sebagai pembakar mesin.
Para pembesar --sebagian dikenal sebagai kepala daerah mereka, dan sebagian yang berbaju bagus bermobil bagus entah siapa-- menjanjikan kehidupan jauh lebih baik bagi warga setempat.
Kata mereka, warga boleh bekerja di pabrik. Mendapatkan upah lebih baik daripada bertani, berburu, atau menangkap ikan. Dengan itu mereka dapat menjadikan hidup lebih berkualitas.
Dalam pidato pembukaan, Kepala Daerah berseru, "Merdeka dari kemiskinan!"