Lebih sulit meminta maaf dan mengakui kesalahan kepada orang yang pernah disakiti, dibanding Memaafkan lalu Melupakan.
Membaca topik pilihan yang disodorkan Kompasiana, mengingatkan saya kepada satu kejadian menyakitkan pada masa lampau.
Hati berdenyut. Jantung berdegup. Kemarahan meletup. Ternyata saya belum mampu melupakan persoalan yang membuat hubungan dengan seorang teman menjadi retak.
Persoalan waktu itu amat merusak reputasi saya dalam dunia usaha. Demikian menghancurkan sehingga saya sulit memaafkan dan melupakannya.
Kendati kini kadar kemarahan turun dibanding keadaan pada masa itu, tidak sepenuhnya saya memaafkan. Belum bisa memaafkan, pun melupakan. Apa ya bahasa Inggrisnya?
Artinya, saya gagal melakukan prakarsa Memaafkan Lalu Melupakan. Saya tidak berhasil menjalankan saran-saran bagus yang banyak ditulis di Kompasiana belakangan ini.
Tidak bisa memaafkan bukan berarti memelihara dendam, melainkan sulit melupakan perbuatan yang sangat ... sangat menyakitkan. Sedikit teringat, sontak muncul kembali kemarahan. Pada diri saya belum ada sikap memaafkan sekaligus melupakan.
Untuk hal terbatas, betapa sulit memaafkan dan melupakan. Di sisi lain, betapa tidak mudah meminta maaf.
Bukan ujaran maaf seperti yang biasa diucapkan pada hari lebaran. Atau, maaf sehubungan ingin berlaku sopan santun kepada orang lain. Bukan itu.
Minta maaf kepada seseorang karena pernah menyakitinya, menimbulkan kerugian besar, atau membuatnya sangat marah. Minta maaf yang dipandang akan berisiko memicu kekacauan atau amarah yang makin hebat.