Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota yang Kehilangan Warga Penting

21 Juli 2024   07:05 Diperbarui: 21 Juli 2024   07:08 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghuni kota gempar kala matahari baru menggeliat, menanggalkan selimut malam, dan membuka lebar mulut menyemburkan uap hangat. Gempar serupa gelombang. Riak-riak tertiup angin badai menjadikannya ombak dahsyat menghantam pantai, meluluhlantakkan permukiman.

Tadinya kesadaran tentang hilangnya Warga Penting hanya sebatas lingkungan RW, lalu melebar melalui pesan di percakapan grup. Meluas dan kian menyebar.

Berita hilangya Warga Penting menghantam kesadaran seluruh penghuni Kota. Warta viral di media sosial dan media daring serta saluran televisi.

Warga yang hilang tanpa diketahui jejaknya adalah Warga Penting. Posisi dan perannya sangat penting. Demikian penting sehingga keberadaannya menciptakan suasana teratur, tertib, hingga damai di kota itu.

Tidak perlu lagi kumpulan herder semacam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada zaman tirani.

Warga Penting itu berwibawa. Suaranya amatlah didengar dan dituruti para penghuni kota. Perilakunya menjadi tauladan. Maka ketidakhadirannya memudarkan tatanan kehidupan nyaman dan aman.

Lihat saja. Pada saat jam antar anak sekolah dan berangkat kerja, jalanan tampak kacau balau sekalipun diatur oleh lampu dan polisi lalu lintas. Takada satu pun pengguna jalan hendak mengalah mendahulukan yang lemah.

Mesin-mesin menggonggong adu kencang. Klakson-klakson bersikukuh dalam teriakan histeris. Para pengendara saling lempar makian dan pelototan.

Reda sejenak ketika lonceng sekolah berbunyi. Orang-orang mulai membuka tas kerja, baik berisi buku maupun palu.

Tidak lama. Lagi-lagi terjadi pertengkaran antar kolega tentang hal-hal sepele. Menjalar  menjadi percekcokan. Persengketaan merambat ke kalangan pelajar, warga, dan ke dalam keluarga. Tiada lagi suasana harmonis.

Suami cekcok dengan istri. Kakak berselisih sama adik. Anak berselisih dengan bapak. Kakek nenek terlantar kelaparan sampai mati tiada kerabat yang mengindahkan. Tetangga bersengketa dengan tetangga.

Kemudian pergesekan, perseteruan, perkelahian meluas menjadi tawuran antar warga. Pemicunya tidak jelas. Sebagaimana tawuran antar pelajar yang tidak pernah terang pangkal perkaranya, seringkali karena perkara yang sama sekali remeh temeh tidak penting.

Tidak hanya tawuran antar pelajar dan antar warga. Kekacauan diramaikan dengan unjuk rasa buruh dan mahasiswa. Mereka bakar-bakaran dan goyang-goyang gerbang tak bersalah.

Orasi-orasi sarat amarah dilontarkan dengan nada sumbang melalui pelantang. Makna sebenarnya dari pidato tidak dimengerti oleh peserta unjuk rasa. Itu tidak penting, lebih penting bikin rusuh dan kekacauan.

Demonstran lebih suka mengimbanginya dengan pekik knalpot brong sebagai suara melolong pembuat telinga pekak, daripada memahami substansi.

Knalpot-knalpot rombeng didorong oleh api mesin oprekan abal-abal, saling berpacu melawan setan membelah jalanan mulus -- meski dicuri bagian-bagiannya di sana-sini -- membahayakan pengguna jalan lainnya.

Perihal pencurian jalan meliputi pengurangan kualitas dan ketebalan pengaspalan. Hitung kerugiannya: tebal 1 sentimeter dikalikan lebar dan panjang jalan. Itu baru satu komponen.

Ihwal pencurian pajak (uang disetorkan warga ke kas pemerintah kota) kian menggila. Pelaku tanpa malu-malu dan tanpa rasa dosa mencuri sebagian uang anggaran melalui proyek.

Pengusaha bersama penguasa melakukan persekongkolan jahat. Berkongkalikong. Sama-sama butuh. Pengusaha butuh pekerjaan demi memutarkan usaha, penguasa butuh duit untuk ongkos politik pilkada.

Perampokan uang kas kota tidak bisa dan tidak mungkin bisa diberantas. Dicegah dengan cara apa pun tidak mempan. Mati satu tumbuh seribu. Dibui satu pencoleng uang rakyat, muncul lagi pencopet baru.

Berulang. Tiada daya menghilangkannya dari wajah kota. Kini Warga Penting yang disegani menghilang. Hanya ia seorang yang mampu mengatasi kekacauan penghuni kota.

Menghilangnya Warga Penting itu berarti adalah lenyapnya kepedulian. Tidak peduli lagi dengan sesama penghuni kota. Tidak lagi suka kejujuran, keteraturan, ketertiban, dan kedamaian. Lebih parah lagi, tidak merasa suka dan peduli lingkungan tempat mereka tinggal dan mencari nafkah.

Coba lihat! Sama sekali tanpa memedulikan lingkungan, usai menghabiskan minuman maka orang-orang bebal membuang kemasan sekaligus kantong plastiknya ke jalan, ke selokan, ke taman, dan tempat mana saja di dekatnya.

Matanya rusak kebanyakan menonton gambar cabul, tidak melihat tong sampah segede gaban di sekitarnya. Beberapa malas mencari tempat membuang sampah.

Kemalasan itu juga melanda penghuni di sekitar bantaran sungai. Emak-emak, bapak-bapak, bahkan anaknya dengan entengnya mengagahi sungai. Melemparkan sampah dari keranjang ke kali.

Jangan suruh memilah dan memilih buangan dapur. Mereka tidak punya pengetahuan memisahkan sampah organik dan nonorganik. Mereka tidak perduli. Tidak mau meringankan pekerjaan tukang sampah. Tidak mengerti mana limbah mudah terurai, mana yang tidak.

Jangankan menjaga lingkungan, orang-orang seenak jidatnya menebang pepohonan tanpa perhitungan. Bisa jadi akar dari tumbuhan dengan batang keras itu berfungsi menyerap air, menahan limpasan benda cair di tempat tinggi agar tidak meluncur ke tempat lebih rendah.

Maka tidak mengherankan, banjir terbentuk setiap waktu. Sebelumnya tidak penah terjadi. Warga Penting yang mendadak hilang tidak pernah lelah mengingatkan penghuni kota, agar tidak buang sampah sembarangan. Tidak serampangan memotong pohon.

Warga Penting yang mendadak hilang merupakan orang paling disegani. Anjurannya dituruti penghuni kota. Ia warga biasa yang berwibawa. Bukan pejabat. Bukan. Kalau pejabat hanya dihargai saat duduk. Setelah lengser, loyo dan tak lama kemudian penyakitan.

Menyadari bahwa ternyata peran Warga Penting yang mendadak hilang sangat berharga, maka Wali Kota mengumpulkan seluruh jajarannya. Mengadakan jamuan rapat dengan hidangan mewah, di hotel paling mahal di kota selama tujuh hari tujuh malam.

Hanya satu keputusan akhir yang dimengerti oleh khalayak umum. Lainnya uraian panjang kali lebar dengan kata-kata berbunga, disimpan di laman blog tanpa pernah dikunjungi pembaca.

Keputusan penting itu adalah, "Dengan cara bagaimana pun Warga Penting yang mendadak hilang harus ditemukan, dalam keadaan apa pun. Ia simbol ketertiban. Selanjutnya bila... bla..bla...bla...." (Maaf dipangkas, keterlaluan panjangnya-pen).

Pihak imigrasi mengatakan, ia sepertinya tidak pergi dari kota apalagi ke luar negeri. Ia bukanlah Harun Masiku yang sakti bisa ...cling!

Maka seluruh kesatuan milik kota mencari sampai ke sudut paling terpinggirkan. Pada satu pintu air paling akhir yang padanya menumpuk segala macam sampah, terlihat sosok tertelungkup. Terapung di atas tumpukan kresek, kemasan minuman, ban bekas, kasur rusak, sofa dedel busa, dan batang-batang pohon.

Pakaiannya compang-camping tiada bisa dikenali. Tubuhnya bengkak. Membusuk. Pada beberapa bagiannya mengelupas. Wajahnya rusak sulit dikenali.

"Coba cari tanda pengenal," kata kepala polisi.

Menggunakan masker wajah dan sarung tangan, petugas mencari-cari sepotong kartu identitas.

"Ada! Ya ada, tapi keadaannya sepertinya buruk."

Dokumen dibawa ke atas. Menggunakan kaca pembesar, petugas membaca huruf-huruf tertinggal. Butuh waktu tidak sebentar meneliti tulisan di kartu yang sekian lama terendam dalam air.

Setelah menghabiskan bergelas-gelas kopi tidak diaduk, sang petugas berseru kepada kepala polisi, "Bisa dibaca, meski harus dieja huruf per huruf."

"Laksanakan," teriak kepala polisi.

"Baik, nDan! Ergh... Ka, A, eS, I, Ha... eS, A, Ye, A, eN, Ge...."

Kemudian jenazah Warga Penting itu diangkat, dimasukkan ke kantong, ditandu ke ambulans, dan dibawa menuju rumah sakit untuk diotopsi.***

Biodata: Bukan cerpenis. Bukan sastrawan. Hanya tukang tulis di tepi jalan Kota Bogor.

Foto Budi Susilo (dukumen pribadi)
Foto Budi Susilo (dukumen pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun