Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bersyukur Masih Bisa Ngopi meski di Tepi Jalan

31 Mei 2024   07:06 Diperbarui: 31 Mei 2024   07:14 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi di tiang listrik (dokumen pribadi)

Kemarin pagi di depan kantor BSIP Kementerian Pertanian. Saya meletakkan gelas plastik isi kopi seduh pada betonan tiang listrik, lalu menduduki kotak kayu bekas peti buah.

Ngopi berharap ada buah pikiran jatuh dari rimbunan pohon manggis dan pala. Rasa-rasanya terakhir ke sini sebelum puasa atau sebelumnya lagi, saya lupa.

O ya, agar tidak bingung, BSIP adalah Badan Standarisasi Instrumen Pertanian. Dulunya bernama Balai Penelitian Perkebunan.

Berhubung semua peneliti termasuk teknisinya ditarik ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), maka lahan dan gedung segede gaban itu tidak pantas lagi disebut lembaga penelitian. Jadilah BSIP.

Papan nama kantor BSIP (dokumen pribadi)
Papan nama kantor BSIP (dokumen pribadi)

Seruput kopi.

Selain kopi seduh, Pak Yana juga menjual nanas madu kupas.

Berdagang kopi seduh perlu modal, yaitu rencengan kopi saset yang dibelinya di warung kelontong milik tetangga. Juga air panas dalam termos.

Untuk mendapatkan nanas, Pak Yana tidak perlu modal. Ada bandar menitip jual dengan imbalan berupa komisi.

Berapa hasil keuntungan berdagang kopi dan komisi jual nanas?

"Alhamdulillah. Yang penting ada buat makan."

"Anak-anak?"

"Mereka sudah berkeluarga. Punya penghasilan sendiri."

Menurutnya, manusia hidup harus selalu mensyukuri apa yang diperoleh. Tapi tidak dengan menteri yang waktu itu datang ke sini.

"Seminggu setelah merayakan ulang tahun Kementerian Pertanian di Kota Bogor, SYL diciduk. Itu adalah contoh orang yang tidak pernah bersyukur."

Pak Yana, penjual kopi pinggir jalan, mengatakan bahwa sebetulnya SYL beruntung. Punya jabatan tinggi. Gaji dan tunjangan gede. Dapat rumah dinas pula.

Mestinya ia tidak perlu puyeng memikirkan biaya sewa kontrakan, makan sehari-hari, sekolah anak, dan lainnya. Eh tapi, masih nyolong duit juga, memalak, dan memeras.

Meskipun sudah dicukupkan, ia masih tidak puas dengan limpahan materi yang ada. Merasa kurang. Tidak bersyukur. Padahal, kelak tidak ada harta dunia yang bisa dibawa "pulang" ke sana.

Saya merenung. Mencerna ujaran Pak Yana dan menyadari, saya termasuk orang yang kurang memiliki rasa syukur.

Namun pagi itu saya sangat bersyukur dilimpahkan kesehatan. Masih bisa menikmati segelas kopi harga Rp3 ribu di pinggir jalan, di bawah tiang listrik.

Sekaligus mendapatkan pencerahan tentang makna rasa syukur. Ndak apa-apa meski tidak ada inspirasi untuk menulis jatuh di kepala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun