Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Sepi Pembeli Meski Ubah Warung Jadi Lebih Rapi

25 Mei 2024   09:08 Diperbarui: 3 Juni 2024   10:01 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengubah tampilan tempat bisnis kuliner memang bagus, tetapi tidak menjamin mendatangkan pengunjung lebih banyak. Bisa-bisa malah jadi sepi.

Sampai dengan enam tahun lalu, saya beberapa kali sarapan atau makan siang di sebuah warung sederhana di Kota Bogor. Bersahaja dalam penampilan maupun cara memajang menu.

Bangunan terbuat dari kayu. Tidak begitu luas. Berlantai semen tidak diaci. Angin mengalir dari kisi-kisi kayu dan akses masuk seringkali gagal mendinginkan tubuh para pembeli, yang mengantre atau sedang makan.

Konsumen datang mengambil nasi dari boboko (wadah nasi dari anyaman bambu), lalap dan/atau sayur, sambal. Memilih lauk terletak di tampah kemudian diserahkan ke pelayan untuk digoreng kembali.

Pilihan menu standar warung sederhana: ayam kampung, empal, ikan, tempe tahu, pepes, tumis oncom, dan lainnya. Hidangan favorit pelanggan adalah paru goreng dan urap cikur (kencur).

Urap cikur adalah rajangan tanaman kencur muda (umbinya masih putih/belum jadi) berikut daunnya, yang disangrai bersama kelapa parut berbumbu. Untuk mendapatkan urap cikur harus bercepat-cepat dengan penggemar lainnya.

Pembeli tampak lahap menyantap hidangan sesuai pilihan dan takaran masing-masing di meja panjang. Banyaknya orang di tempat tidak begitu luas membuat hawa warung jadi gerah.

Keringat mengucur usai perut terisi penuh. Satu tempat kesukaan saya untuk ngadem adalah bale-bale di luar warung.

Umumnya pengunjung berasal dari pegawai kantor sekitar bahkan jauh dari lokasi. Jalan buntu di depannya menjadi tempat parkir.

Kedai sederhana itu memang tersohor ke mana-mana, berkat rasa masakan enak dan tempat terkesan akrab serta pelayanan baik.

Bisnis kuliner yang menjadi buruan pengunjung bermobil dan bersepeda motor. Harga makanan pun di atas umumnya warung sederhana.

Beberapa waktu lalu, sambil berolahraga jalan kaki, saya mampir lagi ke warung itu.

Warung ternyata berubah penataannya. Lantai putih membuatnya rapi, terkesan lebih luas, dan terasa lebih nyaman.

Tidak ada lagi meja dan kursi panjang. Diganti dengan beberapa meja persegi dengan empat kursi plastik di sisi-sisinya, tertata rapi dalam ruang berlantai keramik.

Menu disajikan ala buffet. Pembeli bisa mengambil sendiri nasi hangat dalam magic jar, sambal dalam cobek, dan lalap di satu meja. Memilih anekan sayur dan lauk di rak sebelah kasir, yang masing-masing ditempatkan dalam wadah stainless steel.

Sampai dengan jam makan siang belum banyak pembeli menunjungi warung. Saya beserta keluarga di satu meja. Sementara sepasang suami istri sedang memilih lauk untuk dibawa pulang. Cuma itu. Meja lain masih kosong.

Dulu, sebelum waktu istirahat kantor beberapa menu sudah tinggal sedikit. Hidangan favorit habis sejak pukul sebelas.

Sepertinya perubahan menjadi lebih bagus tidak diikuti dengan peningkatan jumlah pengunjung.

Bisa jadi pengamatan baru dilakukan sekali. Maka di kesempatan lain saya mampir, menyaksikan bahwa keadaannya hampir sama. Hanya ada satu dua sepeda motor parkir.

Pendapat sementara saya adalah, warung sederhana tersebut sekarang lebih sepi dibanding keadaan sebelum direnovasi.

Terinformasi, tukang masak terdahulu telah wafat. Digantikan oleh anaknya, yang menggandeng pemodal untuk meremajakan bangunan dan menata ulang ruang dalam.

Kapan renovasi dilakukan? Itulah kelebihan saya: lupa nanya!

Tentang keadaan warung setelah renovasi, saya menyampaikan kesan sebagai berikut:

  • Dengan penataan rapi, tempat lebih bagus, nyaman, dan terkesan luas.
  • Pilihan menu ditawarkan lebih beragam.
  • Rasa makanan dapat diterima oleh lidah. Buktinya, sebelum pulang saya membungkus beberapa lauk.
  • Harga terhitung wajar.
  • Pelayanan gesit dan bagus.

Jadi, masalahnya di mana? Tempat lebih bagus, makanan baik, pelayanan ramah, harga menu wajar, tetapi kok bisa lebih sepi dibanding dulu?

Mengabaikan faktor lain, seperti persaingan usaha sejenis atau penurunan daya beli konsumen, menurut saya ada suasana yang hilang.

Sebelum perubahan, saya selalu menyempatkan diri mampir ke warung sederhana itu. Kangen, tepatnya tidak bosan, dengan rasa enak dari menu disajikan (urap cikur, tumisan, paru goreng, ayam, ikan, sambal) dan suasananya.

Suasananya menyenangkan, akrab, dan bikin betah. Serasa berada di warung di lingkungan pedesaan, meskipun sejatinya ia berada di dalam kota. Atmosfer homey inilah yang terkikis setelah perubahan fisik.

Perubahan tidak selalu baik. Perubahan dimensi fisik sebuah tempat bisnis kuliner tidak menjamin peningkatan jumlah pengunjung. Bahkan bisa membuatnya menjadi lebih sepi pembeli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun