Satu alasan membuat saya enggan mengikuti terapi medis lagi adalah lamanya menunggu antrean.
Dulu pernah menjalani upaya pemulihan. Sembilan kali mengikuti rehabilitasi medik sembilan kali pula mengantre panjang. Tiap-tiap perlu waktu lebih dari setengah hari.
Pengalaman itu menimbulkan keengganan memasuki bilik terapi kembali, sekalipun dokter spesialis saraf menyarankan.
Setelah pindah perawatan dari rumah sakit ke klinik geriatri (perawatan lansia), yang antreannya tidak lama, barulah saya berpikir untuk menjalani terapi medik.
Empat bulan terakhir atau lebih, saya lupa, bahu sebelah kanan mengalami masalah nyeri kala melakukan gerakan tertentu. Misalnya, mengangkat lengan dan menurunkannya.
Bagian tubuh sebelah kanan cenderung terbatas ruang geraknya.
Saya lebih sering melatih kaki untuk bergerak, dengan hampir setiap hari olahraga jalan kaki.
Sebaliknya, kurang membiasakan tangan kanan melakukan berbagai gerakan sehingga menimbulkan nyeri bahu. Konon, penyintas stroke mengalami masalah bahu jika tidak sering melakukan latihan bahu,
Ketika menyampaikan keluhan nyeri bahu ke dokter spesialis saraf di klinik geriatri, ia menyarankan berkonsultasi dengan dokter spesialis rehabilitasi medik. Tanpa berpikir dua kali, saya mengiyakan.
Setelah mengamati dan berbincang, dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.KFR) menerangkan kondisi umum yang mempengaruhi kemampuan penyintas stroke untuk menggerakkan bahu:
- Hemiparesis atau hemiplegia. Lemah atau lumpuh pada satu sisi yang dapat membatasi jangkauan gerak bahu.
- Subluksasi bahu. Peregangan parsial tulang lengan atas dari sendi bahu, mengakibatkan pergerakan bahu menjadi terbatas dan menyakitkan.
- Spastisitas. Kurang gerak membuat otot kaku, mengakibatkan bahu beku dan nyeri.
- Bahu beku. Radang sendi bahu menimbulkan pembekuan di tempat. Terjadi ketika bahu tidak bergerak dalam jangka waktu lama.