Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Seduh Tak Diaduk

22 Mei 2024   07:08 Diperbarui: 22 Mei 2024   07:18 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rudolfo punya langgam tersendiri menyeduh kopi, yang boleh jadi berbeda dengan kebiasaan umumnya penikmat. Kopi seduh tak diaduk.

Ia akan menumpahkan isi saset harga seribu empat ratus perak ke dasar cangkir, kemudian menuang air baru diangkat dari api. Seketika aroma merangsang menghambur menyerbu bulu-bulu hidung.

Tampak gelembung-gelembung putih bermunculan pada permukaan berwarna hitam. Partikel-partikel mengambang satu demi satu lesap. Meluncur berkumpul bersama teman-temannya yang lebih dulu tenggelam.

Setelah menunggu sejenak, baru Rudolfo memagut bibir cangkir. Matanya terpejam menikmati aroma dan rasa.

Bagi Rudolfo kopi plus gula tak diaduk memiliki filosofi. Sebagai cara memandang hidup. Jadi bukan sekadar kopi seduh tak diaduk.

Kopi saset berisi kopi bubuk plus gula ketika diseduh dengan air panas, lantas diaduk merata akan terasa manis berlebihan.

Kalaupun ingin manis, Rudolfo menyeduh kopi dibubuhi gula. Bukan gula dikasih kopi.

Berkebalikan dengan selera umum yang menyatakan, kopi harus manis betul agar tercecap enak.

Rudolfo jarang meracik kopi dengan menakar sejumlah bubuk dan sedikit gula. Lebih kerap bikin kopi seduh tak diaduk.

Pada sesapan awal, larutan kopi memang terasa pahit tidak ada manis-manisnya. Begitu tiba di setengah bagian, mulai terasa rembesan gula menandingi getir kopi. Manis yang samar.

Mendekati dasar, rasa manis lebih tececap manis namun bukan manis melenakan yang dapat mengancam kesehatan.

Hingga di situ saja. Rudolfo tidak sampai menyedot butiran-butiran tiada guna mengonggok di dasar cangkir. Bisa-bisa tersedak getir.

Prinsipnya, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Berpahit-pahit dulu merasakan manisnya hidup kemudian.

Vinny sangat memahami filosofi dianut Rudolfo. Selama sekian tahun hidup bersama, setiap kali ia menghidangkan kopi seduh tidak diaduk lelaki itu menerangkannya, pada pagi setelah Rudolfo menghabiskan sarapan sebelum berangkat kantor. Dulu.

Kini Rudolfo mendatangi rumah orang tua Vinny.

"Mau kopi? Seperti biasa?"

"Ya, kopi seduh tak diaduk."

Rudolfo berbincang akrab dengan ibu dan ayah Vinny selayaknya orang-orang telah lama tidak berjumpa.

Padahal dulu sebelum Rudolfo boleh memboyong anak gadis mereka, calon mertua waktu itu sangat menentang hubungan dua anak manusia tersebut.

Ada beberapa perkara sehingga ibu dan ayah Vinny tidak perlu menyukainya. Salah satunya, Rudolfo datang ke rumah mereka dengan menumpang angkot.

"Bau deru, debu, dan peluh!"

Bukan permasalahan naik angkutan umum. Mereka memikirkan, bagaimana kelak nasib putrinya setelah hidup dengan lelaki tak bermasa depan.

Rudolfo menjaga perasaan agar tidak berlaku kasar. Ia menghindari terjadinya perdebatan tiada arti.

Kekesalan memuncak saat orang tua Vinny menentukan syarat biaya penyelenggaraan perkawinan, yang sekaligus melampaui batas kemampuan Rudolfo.

Di situlah emosinya tidak terkendali. Hampir tidak terkontrol jika saja Vinny tidak meredam.

Akhirnya dengan segala cara, permasalahan uang mahar dapat teratasi pada waktunya.

Berhenti? Tidak juga. Baru saja bahtera meninggalkan pelabuhan, gesekan-gesekan antara Rudolfo dengan orang tua Vinny membayang-bayangi pelayaran.

Namun seiring berlalunya waktu, hubungan mereka terasa kian membaik. Tidak ada alasan tepat yang dapat menjelaskan bab itu.

Kehidupan ibarat kopi seduh tak diaduk. Begitu tiba di setengah bagian, rasa manis mulai merembes, kendati pada masa-masa awal terasa getir tidak ada manis-manisnya.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Berpahit-pahit dulu, merasakan manisnya hidup kemudian.

***

Dengan hati-hati Vinny meletakkan lepek di meja tamu, lalu mendudukkan cangkir berisi kopi seduh tak diaduk.

"Silakan diminum."

Rudolfo khidmat menyesap kopi. Menikmati. Tersenyum memikat. Mengangkat jempol.

Perbincangan hangat. Empat orang --Rudolfo, Vinny, Orang tua Vinny-- mendongengkan masa lalu. Ceria. Manis terasa makin manis bukan manis perusak.

Rudolfo menghabiskan larutan kopi hingga mendekati dasar cangkir. Telinganya menangkap lengkingan strereo khas klakson mobil buatan Eropa.

"Vinny, cepat buka pintu gerbang. Suamimu pulang dari kantor."

Rudolfo tersedak.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun