Bukan berdasarkan teori seperti umumnya diajarkan di sekolah. Pemahaman didapat setelah mengikuti kelas experiential training kurang dari seperempat abad lalu.
Maka tahun 2000an menjadi titik tolak munculnya kesadaran pentingnya memiliki sikap mengakui kesalahan.
Program pelatihan menggunakan metode pembelajaran berdasarkan peristiwa-peristiwa yang langsung dialami oleh peserta.
Tidak ada diktat, bahan cetak training, dan kesempatan mencatat materi diajarkan. Buku kosong diberikan apabila ada tugas atau pe-er yang harus diselesaikan.
Peserta diminta agar mendengarkan paparan dan instruksi fasilitator yang langsung diterbangkan dari Amerika Serikat. Selama itu pula ia menyampaikan materi dalam bahasa Inggris. Tidak ada penerjemahan.
Sedangkan kemampuan bahasa Inggris peserta beragam, dari mulai yang cuma bisa mengucap "yes no, yes no," hingga yang fasih banget (ada partisipan dari Singapura dan negara luar lainnya).
Ajaibnya, kendati bahasa Inggris sebagian peserta amburadul, mereka lama-lama mengerti apa yang dimaksud oleh fasilitator.
Harga pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga dari Hongkong itu lumayan. Untuk mengikuti satu tingkatan kelas selama 5 hari, menghabiskan kira-kira satu bulan gaji pegawai swasta kelas menengah Jakarta.
Salah satu sesi adalah berinteraksi di luar ruangan dengan orang tidak dikenal, selama --kalau tidak salah-- dua jam.
Tugasnya sederhana. Mengenalkan diri kepada orang atau sekelompok orang belum dikenal, berbincang, cari tahu nama dan tinggal di mana, serta tujuan berada di satu tempat.