Sebuah judul tulisan memaku mata untuk melanjutkan baca. "Saatnya 'Solopreneur' Bersinar," begitu tajuk yang diagihkan kompas.id pada Kamis pagi 24/4/2024.
Artikel itu menuliskan, bersamaan dengan pembekuan perekrutan pegawai baru oleh 69 persen perusahaan, 23 persen kongsi usaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu kejadian di Indonesia dalam tahun 2023.
Kecenderungan menyesakkan di dunia ketegakerjaan Indonesia yang kemudian menumbuhkan geliat "solopreneur."
Sejenak pikiran melayang kepada kegiatan usaha yang pernah saya lakukan. Atas inisiatif sendiri mendirikan perusahaan komanditer dan mengerjakan proyek-proyek pemerintah.
Dalam pendirian usaha skala UMKM itu, sedikitnya dua orang (komanditer aktif dan pasif) menghadap notaris. Pada pelaksanaan kegiatan, perusahaan memerlukan orang lain (administrasi lelang, pekerja bangunan, dan lainnya) dalam penyelesaian pekerjaan.
Commanditaire Vennotschaap (CV) atau Persekutuan Komanditer tersebut memang saya bentuk atas inisiatif sendiri. Menggunakan modal sendiri. Ditata laksana dengan cara saya sendiri. One man show management.
Namun ia tidak lantas bisa disebut sebagai usaha solopreneur. Maka, apa yang disebut dengan solopreneur?
Solopreneur adalah solo entrepreneur, yaitu seseorang yang menjalankan bisnis tanpa melibatkan pegawai atau anggota tim. Ia sendirian memikul risiko bisnis tanpa campur tangan seorang mitra (Justin Welsh dalam "What is a Solopreneur?").
Selanjutnya Welsh mengatakan bahwa solopreneur berbeda dengan entrepreneur, kendati sama-sama menjalankan usaha sendiri.
Selain menjalankan usaha sendirian sehingga memiliki kendali atas keputusan dan operasional usaha, solopreneurship fokus kepada niche (pasar terspesialiasi). Ia membangun personal brand dalam pengembangannya, dan mengurus sendiri semua aspek bisnis, dari mulai keuangan hingga pemasaran.