Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

271 Triliun Itu Bukanlah Daun-Daun Luruh dari Pohon

3 April 2024   11:08 Diperbarui: 3 April 2024   11:15 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

: Tanah Abang Jakarta Pusat, Mendekati Akhir Ramadan

Seorang laki-laki tergelimpang. Badan babak belur dicampakkan ke bak belakang kendaraan kabin ganda warna abu-abu batu.

Tubuh ringkih bau tengik diinjak beberapa pasang lars pria-pria berseragam bukan loreng, agar tidak melarikan diri.

Betisnya beku, lantaran satu peluru merobek otot.

Laki-laki itu pasrah. Pikirannya terbang ke rumah, memandang tanpa daya anak dan istrinya merintih lirih.

Sebab itu yang mendorong dirinya terdampar di pusat keramaian kota. Mencari penukar barang sebungkus nasi hangat dan tempe.

Takada hasil. Semua orang tampak tergesa-gesa atau tunduk memandang layar kecil, mengabaikan bahwa ada seorang laki-laki menadahkan tangan.

Hingga semua berubah secara menyeluruh. Dramatis. Histeris.

Ia melihat sebuah benda kecil, cokelat, persegi, terbuat dari kulit imitasi tergeletak di tempat orang berjalan kaki. Sejumlah lembaran merah mencuat dari lipatan. Membuat mata siapa saja yang melihat menjelma hijau.

Sayangnya semua orang tampak tergesa-gesa atau tunduk memandang layar kecil. Hanya ia seorang yang menyadari keberadaanya.

Sebentar kemudian laki-laki itu menghampiri. Kepala memutar kanan kiri. Memastikan sekali lagi. Merendahkan badan. Memanjangkan lengan.

Baru sedetik tegak, seorang pria parlente di depannya berbalik. Menganga. Sontak histeris seraya jari telunjuknya mengarah ke hidung laki-laki itu.

Sejenak keramaian menjadi hening.

Lalu semua orang yang tadinya tampak tergesa-gesa atau tunduk memandang layar kecil, sekarang histeris secara bersamaan. Menghidupkan gelegar.

Burung-burung gereja bertengger di kabel listrik mendadak beterbangan. Pohon-pohon di sekitar terkejut, lalu meranting. Daun-daunnya luruh, melayang-layang, dan tergelimpang di daratan.

Tanpa komando. Tanpa aba-aba. Semua orang yang tadinya tampak tergesa-gesa atau tunduk memandang layar kecil, kemudian menyerbu laki-laki malang.

Amarah menenagai kepalan tangan menggodam muka. Kaki-kaki penuh dendam mengayun ke selangkangan, menggunting lutut hingga membuatnya terjerembab.

Injakan, tendangan, pukulan kayu dan lemparan batu meretakkan tulang-tulang. Kulit terkelupas. Cairan hangat di wajah.

Dengan kekuatan terakhir ia bangkit, lintang pukang sampai desis dari belakang menghentikan.

Sebuah benda merobek betisnya. Memuncratkan cairan merah. Semula tidak menderita apa-apa. Dua detik kemudian terasa perih. Tenaganya hilang.

Badan ringkih bau tengik campuran peluh dan darah melenguh. Tumbang. Tersungkur dengan wajah lebih dulu menyentuh aspal.

Napas tersengal-sengal pertanda ia masih hidup, meski saat itu berharap nyawanya luruh. Lelah. Ia sudah lelah. Amat lelah.

Sekarang laki-laki itu hanya bisa pasrah. Pikirannya terbang ke rumah, memandang tanpa daya anak dan istrinya merintih lirih.

Air mata duka mengalir membasuh luka.

: Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Mendekati Akhir Ramadan

Seorang laki-laki tampak tenang, berwibawa, dan mengumbar senyum. Menaiki mobil hitam berpendingin udara di barisan bangku belakang sopir. Beberapa kendaraan serupa mengawal dari belakang.

Tiba di sebuah gedung megah, satuan pengamanan takzim membuka pintu mobil. Laki-laki itu melangkah turun dikawal pria-pria berseragam cokelat tua.

Para wartawan serentak menghampiri. Cahaya berkilat-kilat.

Mereka menyodorkan mikrofon atau mendekatkan henpon, "benarkah kerugian negara mencapai 271 triliun? Siapa saja yang terlibat? Ada orang penting?"

Pertanyaan-pertanyaan menjelma suara lebah.

Kepada kerumunan, laki-laki berwajah halus itu menjawab dengan senyum. Tanpa suara melangkah percaya diri ke lobi gedung.

Dari balik kaca para wartawan melihatnya berjalan lebih dalam. Sekali lagi, laki-laki berpakaian bagus ditutup rompi warna merah muda itu tersenyum.

Pikirannya terbang ke rumah, melihat anak istrinya bertanya-tanya.

Hatinya berbisik: jangan khawatir sayangku, 271 triliun itu bukanlah daun-daun kering yang luruh dari pohon.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun