Betapa tidak enak, bila sedang serius ada orang mengajak bicara. Bisa-bisa pemungutan gagasan atau kegiatan menulis jadi buyar.
Sebelumnya warung amigos menjadi tempat kesukaan (mengenai kedai ini dapat dilihat di sini).
Tempat yang minim gangguan ketika berkonsentrasi, adem, dan --ini yang penting-- menjual kopi seduh dan penganan dengan harga murah. Segelas kopi tubruk Rp4 ribu. Gorengan seribu atau seribu dua ratus limapuluh perak per potong.Â
Takperlu pergi ke coffee shop.
Belakangan, warung sederhana di dalam kebun menjadi alternatif jika bosan berlama-lama di warung amigos. Warung di lingkungan teduh dan sejuk jadi tempat tongkrongan baru.
Kiri, kanan, dan belakang adalah persil-persil ukuran rata-rata 500 meter persegi. Rumah-rumah dengan pekarangan yang umumnya asri.
Di seberang jalan adalah halaman luas dari sebuah kantor instansi pemerintah. Berpagar tinggi. Halamannya ditumbuhi pepohonan besar.
Sedangkan warung kebun itu sendiri berada di lahan yang lantas ditanami pohon singkong, pisang, dan tumbuhan untuk bumbu dapur. Selain berkebun, penjaga memelihara ayam kampung.Â
Ketika duduk menikmati kopi, terdengar ayam berkotek dan berkokok. Kadang unggas budidaya itu lewat di bawah meja makan.
Atmosfer sejuk, tenang, dan suara ayam membawa pikiran melayang ke alam pedesaan. Suasana yang benar-benar saya inginkan ketika merenung dan menggoreskan pena, eh mengetuk layar papan kunci di layar telepon genggam.