Setelah lulus, ia lebih memilih bekerja, daripada meneruskan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Biaya kuliah tidak terjangkau menjadi ganjalan.
Lulusan SMK tahun 2022 ini bekerja di Dapur Mamoz, gerai kecil penjualan nasi gudeg, mi godog, dan lainnya.
Kepada gadis manis tersebut saya memesan kopi hitam tanpa gula dan singkong goreng ngeprul.
Sekitar 58% dari 3,7 juta lulusan SMA/SMK di Indonesia melanjutkan perguruan tinggi. Sisanya menganggur atau bekerja.
Makanya, Angka Partisipasi Kasar Pendidikan TInggi (APK PT) di Indonesia masih terhitung rendah, dibanding Malaysia dan Thailand apalagi Singapura (mengutip kompas.id).
Kendala besarnya adalah biaya kuliah tinggi, yang dihadapi keluarga tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Bahkan, tak sedikit mereka yang sudah berada di pendidikan tinggi pun menghadapi mahalnya biaya UKT.
Biaya kuliah tahun ajaran 2020/2021 rata-rata Rp14,47 per tahun (Sensus Ekonomi Nasional Modul Sosial Budaya dan Pendidikan/SUSENAS MSBP). Meliputi Uang Kuliah Tunggal (UKT), uang pendaftaran, praktikum, uang saku, kunjungan edukatif, biaya transportasi, pembelian alat tulis, ujian, internet (sumber).
Angka tersebut dua kali lipat dari rata-rata biaya pendidikan jenjang SD-SMA. Itu pun membuat sebagian orang tua ngos-ngosan.
Kalau bersekolah atau kuliah di perguruan tinggi swasta angkanya bisa bertambah. Nilainya berbeda-beda tergantung pilihan bidang studi, reputasi, fasilitas disediakan, akreditasi, dan sebagainya.
Memang untuk mengurangi beban tersedia beragam beasiswa, bantuan pendidikan dari pemerintah (Kartu Indonesia Pintar, afirmasi pendidikan), dan program keringanan biaya UKT di sejumlah perguruan tinggi, namun lubangnya masih terlalu kecil untuk dilalui oleh mahasiswa dari keluarga tidak mampu.
Belakangan berkembang tren pinjaman daring untuk mengatasi kesulitan pembiayaan UKT.
Meskipun kerjasama pinjol dengan perguruan tinggi itu bersifat legal, sejumlah kritik dan tentangan dari berbagai pihak bermunculan.
Ya, barangkali pinjaman daring bisa menjadi solusi masalah pembayaran uang kuliah.
Bagi pihak perguruan tinggi, persoalan UKT terselesaikan. Secara komersial kampus tidak lagi menghadapi kendala keuangan akibat tersendatnya pembayaran uang kuliah.
Bagi mahasiswa? Bagi keluarganya?
Pengembalian pokok dan bunga pinjaman secara bertahap mungkin menjadi solusi meringankan. Sebaliknya, cicilan bisa memberatkan bagi keluarga tidak mampu, mengingat pengembalian utang ketambahan beban bunga.
Muncul pro kontra atas isu pinjaman daring untuk pembayaran uang kuliah.
Menanggapi itu pemerintah memikirkan program serupa student loan di Amerika Serikat. Pemberian pinjaman melalui dana abadi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Program masih dikaji saksama oleh pemerintah, agar tidak membebani mahasiswa dalam jangka panjang setelah lulus kuliah (sumber).
Menurut hemat saya, rencana tersebut bersifat reaktif. Muncul setelah ramai isu pinjaman daring untuk pendidikan.
Semoga rancangan program student loan yang lebih meringankan dibanding pinjaman daring segera terealisasi.
Lebih baik lagi jika pemerintah menelurkan kebijakan penurunan biaya kuliah. UKT terjangkau bagi banyak orang yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Itu barangkali akan menaikkan Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi, sehingga kelak terjadi peningkatan kualitas dan daya saing anak bangsa.
Jadi seyogianya pemerintah memerhatikan skema penurunan mahalnya biaya UKT di Perguruan Tinggi Negeri, ketimbang memikirkan rendahnya jumlah lulusan Magister dan doktor yang dimiliki oleh Indonesia.
Pendidikan merupakan hak warga negara dan pemerintah wajib memenuhinya -Tajuk Rencana Kompas tanggal 31/1/2024-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H