Kala jalan kaki pagi beberapa hari lalu. Titik-titik air berjatuhan. Gerimis makin rapat. Mendung buyar menjelma hujan rintik-rintik.
Saya segera masuk ke sebuah bangunan. Berteduh dan duduk di bangku kayu.
Di hadapan tampak gerobak panjang. Tertata pentol, kikil, daging, mi kuning dan putih, irisan kubis, sawi (caisim), tauge, serta bahan-bahan lain pada kotak bersekat, berjendela, dan berpintu kaca.
Di sebelah kiri tampak belanga mengepulkan uap kuah bakso. Di bagian kanan dandang berisi kaldu soto. Ternyata sebuah warung soto mi Bogor yang juga menjual bakso!Â
Pas banget. Pagi dingin cocok betul menyantap hidangan berkuah nan hangat. Berkecamuk pikiran, memesan atau tidak?
Riwayat kolesterol tinggi dalam tubuh berperang dengan rasa tidak enak berlama-lama di kedai tersebut. Sekalipun sekarang sudah normal, saya agak mengkhawatirkan kenaikan akibat mengonsumsi makanan mengandung lemak.
Kemudian rasa tidak enak hati yang bersekongkol dengan cuaca dingin menaklukkan kebimbangan.
Ketika keraguan sudah hilang, muncul percabangan dalam pikiran: pesan bakso atau soto mi?
Bakso? Terlalu mainstream. Memang sih, sesekali saya mencuri kesempatan makan bakso. Tidak sering, tetapi lumayan hafal tentang kelezatannya.
Soto mi? Saya menjajal soto mi Bogor hanya beberapa kali sebelum sakit. Itu pun jarang. Amat jarang.
Menurut saya, soto mi sekarang berbeda dengan soto mi yang dijajakan pada tahun 1980-an.
Isinya bisa jadi sama, yaitu mi kuning atau putih atau gabungan keduanya, rajangan kubis, risol isi bihun, tomat, daging sapi atau kikil, daun bawang, bawang goreng, dan kondimen lain.
Meskipun demikian, menurut lidah saya tercecap rasa berbeda dengan soto mi zaman dulu. Sekarang kuah lebih terasa micin daripada kaldu hasil rebusan daging.
Ditambah, dulu kuahnya kemerahan berkat cabai merah buang biji digerus. Kini cenderung lebih bening.
Zaman ketika sepeda motor Honda C70 berjaya, tidak sedikit penjaja soto mi beredar di sekitar permukiman. Seperti pedagang bakso keliling.
Saya ingat, kuah soto mi berwarna kemerahan. Tidak pedas dan terasa gurih kaldu. Makanya, waktu itu soto mi merupakan jajanan favorit saya.
Semangkuk soto mi berisi protein (daging), karbohidrat (mi, risol), dan sayur. Cocok disantap pada pagi hari, siang, sore, apalagi malam dalam udara dingin. Tidak pakai nasi.
Sekarang sebagian orang menyantap soto mi bersama nasi. Tak heran, umumnya penjual soto mi juga menyediakan nasi putih.
Demi ingin tahu rasa soto mi di tempat berteduh, saya memesan satu porsi. Tidak pakai nasi.
Si mamang (bhs Sunda untuk paman) penjual, yang berasal dari Tenjolaya Kabupaten Bogor (sekitar 19 km dari lapak jualan di Jalan Ciwaringin Kota Bogor), meracik soto mi.
Sebelum menuang kaldu ke mangkuk, ia menambahkan bumbu matang berwarna merah. Tidak membubuhkan garam pun micin. Dua bahan penyedap itu tersedia di meja, pembeli dapat mengimbuhkan sesuai selera masing-masing.
Sambil menunggu, saya berselancar di dunia maya dan menemukan cara bikin soto mi: "Resep Soto Mie Bogor, Sajian Berkuah Segar untuk Akhir Pekan" di kompas.com.
Tak lama, semangkuk soto mi terhidang di hadapan. Aromanya menggugah selera.
Saya memasukkan seujung sendok teh garam. Sedikit saja. Micin? Saya tidak begitu suka.
Mencicip sesendok, terasa gurihnya kaldu sapi. Warna kuahnya persis soto mi seperti di zaman dulu. Kemerahan.
Bedanya, dulu bumbu pembentuk warna sudah dilarutkan di dalam dandang. Kini, bumbu merah ditambahkan secara individual ke dalam mangkuk.
Aha, rasa yang muncul memper dengan kuah soto mi Bogor di masa lalu!
Saya tidak terburu-buru menghabiskan soto mi yang telah membawa ingatan rasa ke masa lalu. Saya ingin menikmati hidangan berkuah tersebut sampai titik kaldu penghabisan. Lagi pula, gerimis masih turun. Â
Mangkuk licin tandas. Mendung telah menyingkir. Tidak tampak lagi air menitik. Tiba waktunya untuk beranjak dan membayar.
Semangkuk soto mi Bogor tanpa nasi ditukar dengan uang Rp 13.000 saja. Itu sangat sepadan dengan rasa diterima.
Petualangan berlanjut dengan meninggalkan rasa puas. Rencananya, berjalan kaki agak lebih jauh agar lemak dalam tubuh terbakar habis. Mudah-mudahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H