Impor beras menjadi solusi "gampang" ketika mengatasi kenaikan harga dan masalah pasokan beras. Impor beras demi menguatkan CBP.
Sepertinya pemerintah akan terus mengimpor beras, mengingat ada disparitas antara konsumsi dan produksi beras dalam negeri.
Mengutip keterangan dari kompas.id, USDA (United States Department of Agriculture) --departemen yang mengurusi kebijakan AS bidang pertanian, kehutanan, dan pangan-- menyodorkan data:
- Rata-rata konsumsi beras Indonesia periode 2020/2021 dan 2022/2023 adalah 35,367 juta ton per tahun.
- Rata-rata produksi beras Indonesia 2018/2019 hingga 2022/2023 sebanyak 34,36 juta ton per tahun.
Ketimpangan yang kemudian diatasi dengan kebijakan impor beras. Satu jalan keluar mudah yang instan untuk menutupi kekurangan, daripada meningkatkan produksi beras.
Swasembada pangan (beras) adalah rencana jangka panjang, yang dibahas di sekitar meja kayu jati di dalam gedung-gedung mentereng berhawa dingin, sambil menyantap nasi dari beras premium.
Lantas menyampaikan excuses atas ketidakcukupan produksi beras dalam negeri saat ini karena:
- Perubahan pola cuaca.
- Kekeringan.
- Kebanjiran.
- Lahan pertanian subur yang menyusut karena beralih fungsi.
- Beralihnya konsumsi pangan masyarakat, dari sumber pangan lokal non-beras (singkong, ubi jalar, sagu, talas, sukun, dan lain-lain) ke beras.
Kata Ninuk M Pambudy, hasil sensus pertanian mengkonfirmasi petani semakin menua, berkurang jumlahnya, dan menggurem. Sementara ada tuntutan mandiri pangan (e-paper Kompas 24/1/2024). Hal itu membuat usaha bidang pertanian kian suram.
Bisa jadi nantinya kemandirian pangan jauh panggang dari api. Tidak sebagaimana yang diharapkan. Ketergantungan kepada impor beras masih akan berlangsung. Rentan terhadap kenaikan harga beras dunia.
Mestinya dengan sumber daya alam melimpah, Indonesia adalah tanah surga di mana tongkat kayu dan batu jadi tanaman ("Kolam Susu" lagu Koes Plus).
Bahkan tanam singkong, panen jagung, kata Mahfud MD di medsos X tiga hari lalu (22/1/2014). Luar biasa!