Bagaimanapun aturan telah diundangkan dan berlaku. Mengikat wajib pajak untuk mematuhinya.
Kita tinggalkan sejenak protes pengusaha jasa hiburan karaoke di atas.
Beberapa pengusaha menggabungkan jasa hiburan kelab malam, bar, karaoke, spa, diskotek dalam satu tempat. Disebut executive club.
Selama bergaul di dunia malam (sebab tuntutan pekerjaan sebagai pengelola kafe) pada tahun 2000an, saya enggan memasuki executive club.
Pertama, perlu dana "lebih dari cukup" untuk mendapatkan hiburan di sana. Bukan kelas saya yang tergolong kelas menengah.
Kedua, executive club bukan lingkungan yang terlalu saya suka. Umumnya pengunjungnya "bapak-bapak" kelas atas mapan. Atau para pejabat yang memperoleh fasilitas entertainment dari pengusaha.
Ke tempat karaoke jarang. Datang pun karena diundang teman. Pada dasarnya saya tidak bisa menyanyi. Hehehehe...
Saya rasa untuk pergi ke tempat karaoke perlu biaya tidak sedikit, meliputi sewa room dan pembelian makanan minuman yang harganya di atas pasaran.
Kalau berkunjung ke diskotek di kawasan Jakarta Selatan lumayan sering. Sekali lagi, lingkungan pekerjaan menyeret saya bergaul dengan orang-orang dunia malam.
Selain untuk survey market dan "menarik" calon konsumen ke kafe yang saya kelola, diskotek adalah lingkungan familier bagi saya. Sebagian pengunjungnya saya kenal. Bisa jadi memang pengunjung diskotek orangnya itu-itu saja.
Mereka adalah kaum pekerja usia 40an dengan penghasilan di atas rata-rata, dan anak muda yang memiliki uang lebih dari cukup.