Dengan berat hati saya menolak tawaran menjalin kerja sama usaha, lebih baik mempererat hubungan pertemanan.
Bukannya menolak rezeki, tetapi memelihara jalinan persahabatan rasanya jauh lebih berharga.
Seorang teman lama, sahabat yang sudah lama tidak berjumpa kemarin pagi menelepon. Perbincangan berlangsung hangat. Membahas kabar masing-masing hingga situasi politik terkini.
Kawan baik, sebutlah namanya Benji, bertutur betapa banyak orang menghujat salah satu capres sebagai pelanggar HAM di masa lalu.
Menurutnya, isu tersebut dilontarkan oleh sejumlah elit untuk mendiskreditkan sang capres. Demi persaingan saling menjatuhkan.
Benji telah berdiskusi dengan tokoh-tokoh penting, yang saya kenal melalui media, dan ingin meng-counter pernyataan "merugikan" tersebut.
Betul. Secara tidak langsung Benji memamerkan kepada saya bahwa ia bergaul dengan kalangan atas. Pergaulan dengan para teknokrat yang membuat saya terkagum-kagum.
Singkat cerita, ia ingin membuat satu cara keren untuk menangkal isu miring. Tulisan berdaya-sebar nasional untuk membersihkan nama baik capres pujaannya.
Ya, saya harus menyebutnya "pujaan." Saya teringat Kompasianer Efwe, yang mengatakan bahwa pendukung fanatik capres ibarat orang sedang jatuh cinta. Apa pun dilakukan untuk membela pujaan hatinya.
Benji mengetahui, saya suka menulis di Kompasiana (dan ia mengganggapnya keren, karena saya bergaul dengan kelompok Kompas Gramedia). Ia ingin, saya menuliskan sesuai maunya.