Di hadapan tersaji gurame masak tausi, cah sawi asin seafood, dan nasi putih. Di sebelahya tersedia sambal, acar cabai rawit, acar bawang merah, dan kodimen lain khas Chinese Food Restaurant.
Ikan air tawar berdaging tebal diiris sedemikan rupa, dimasak dengan bumbu tausi bersama tahu sutera goreng, dan garnis daun bawang dipotong memanjang. Tampilannya bagus. Sedangkan cah sawi asin ditumis bersama bumbu yang tidak saya perhatikan detilnya saat pengolahan.
Secara keseluruhan, baik olahan ikan dan sayur tercecap sangat pas. Enak. Di rongga mulut tidak tertinggal rasa micin.
Saya memang sedikit sensitif rasa micin. Makanan dibubuhi penyedap buatan berlebih membuat mual. Ditambah, terasa leher kaku dan agak sakit kepala.
Tidak ada efek yang dulu pernah dikenal sebagai Chinese Restaurant Syndrome. Beberapa tahun lalu orang berspekulasi tentang gejala-gejala fisik, yang timbul setelah menyantap monosodium glutamate dalam masakan ala Chinese (Los Angeles Times).
Meskipun koki kedai kecil itu membubuhkan MSG, saya masih dapat menoleransi jumlahnya. Artinya, masakan gurame masak tausi dan cah sawi asin seafood di kedai kecil tersebut selaras dengan ekspektasi.
Ternyata itu rasa enak sekali yang saya terima.
Ada perkara lain yang merupakan "ternyata" berikutnya. Tausi pada masakan gurame tausi bukanlah tahu isi atau isi tahu, tetapi merupakan hasil fermentasi kedelai hitam.
Proses tersebut mengubah kacang kedelai menjadi lembut dan agak kering. Warnanya hitam, terasa lebih ringan dengan aroma tidak setajam tauco.
Tauco sebetulnya juga dibuat dari fermentasi kedelai. Umumnya menggunakan kedelai kuning. Hasil fermentasi direndam dalam garam dan pembumbuan lanjutan (kompas.com).