Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ikan Pindang

23 Desember 2023   07:09 Diperbarui: 23 Desember 2023   07:10 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto gerombolan ikan pindang hidup sedang berenang oleh Peter Simmons

Hanya karena soal ikan pindang, perempuan itu mengeluarkan kata-kata kasar. Dan aku pun ingin membalasnya dengan memaki.

Namun aku menahannya. Teringat kata guru mengaji, tidaklah pantas melukai hati wanita yang melahirkan kamu. Maka aku hanya menunduk seraya mengisap sisa nasi dan sambal yang berlepotan di jemari.

Pulang sekolah perut lapar nian. Tudung saji di atas meja makan tidak berhasil menutupi putihnya nasi hangat, merahnya sambal, dan sedapnya tiga ikan pindang goreng.

Aku begitu saja melempar tas. Membuka sungkup. Memindahkan nasi, ikan pindang, dan sambal ke piring.

Mengenal ikan pindang?

Ikan pindang diolah dari hewan yang berenang di laut hingga kedalaman 200 meter, dengan cara digarami dan direbus agar tahan disimpan lama.

Ikan pindang sangat populer di kalangan masyarakat. Harganya terjangkau dan rasanya sangat gurih. Cukup digoreng. Disantap bersama sambal.

Tanpa bicara tanpa cuci tangan aku memasukkan mereka ke dalam mulut. Gurihnya ikan pindang, lumayan pedasnya sambal, dan manisnya nasi merupakan kombinasi pas.

Perpaduan lapar dan enak membuat kalap. Sadar-sadar ikan-ikan pindang bersama sambal dan, entah dua atau tiga piring nasi, pindah ke dalam perut.

Ibu keluar dari dapur. Mukanya serta-merta merah padam dan memekik, "Dasar anak tidak tahu diri! Makan tidak menunggu Bapak dan habiskan lauk untuk semua. Pulang dari ladang, Bapakmu makan apa?"

Aku baru menyadari,  sesungguhnya tiga ikan pindang merupakan lauk makan siang Bapak, Ibu, dan aku.

Parahnya, aku tidak segera menyesal lalu meminta maaf kepada Ibu. Aku malah ngeloyor pergi tanpa pamit tanpa ganti baju. Membanting pintu. Mengabaikan seruan Ibu.

Bukan itu saja. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak sedikit terjadi ketidakcocokan dengan Ibu. Terjadi pertengkaran-pertengkaran bahkan sampai Bapak berpulang.

Pamungkasnya, dan ini akhirnya, membuatku ingin kembali ke dalam rahim Ibu. Terlahir menjadi anak penurut, berbakti, dan tidak akan pernah menentang apa pun kata Ibu.

Aku menyadari sesadar-sadarnya, yakni satu kesadaran tingkat akhir tanpa pernah ada bandingannya, ketika menatap gerombolan ikan pindang berenang riang gembira mengelilingiku.

Beberapa hari lalu aku pamit kepada Ibu, untuk pergi merantau keluar pulau menuju tanah daratan di mana terletak kota besar, yang menurut teman-temanku merupakan ladang penghidupan tiada batas.

Di negeri metropolitan mudah mendapat pekerjaan. Memperoleh penghasilan dengan jumlah uang yang tidak mungkin didapat di kampung terpencil, tempat Ibu dan Bapak bermukim turun temurun.

"Kan masih ada ladang peninggalan Bapakmu," meski suara Ibu akhir-akhir ini lebih lemah karena termakan waktu, wajah keriputnya masih mencerminkan kerasnya hati.

Namun sekeras apa pun larangan Ibu, tekad sudah bulat. Mimpi menenggelamkan nasihat orang tua.

Aku pergi membawa bekal hasil penjualan ternak, meninggalkan Ibu dengan hati retak.

Kapal kayu memecah ombak perlahan meninggalkan dermaga. Dari atas anjungan aku menghirup angin laut. Menatap cakrawala di ujung lautan.

Aku kembali ke geladak. Duduk dengan kepala bertumpu pada tas ransel yang sudah tidak jelas warnanya.

Angin sepoi-sepoi membuat kelopak mata terasa berat. Sepintas dari bidang penglihatan tepi aku menampak air berwarna biru kehijauan.

Tidak tahu berapa lama tertidur, mendadak terbangun demi mendengar seruan-seruan ditujukan ke langit menyebut nama Tuhan. Jeritan makin riuh. Wanita-wanita berteriak histeris. Anak-anak menangis.

Kemudian aku terkesiap, baru menyadari lambung kapal terisi air. Kian lama meninggi dan membanjiri seluruh bagian. Anjungan kapal kayu terangkat sebentar, kemudian terhempas.

Semua terjadi demikian cepat. Takada kesempatan meraih pelampung, dan aku tidak yakin tersedia cukup perangkat untuk mengapungkan penumpang.

Aku menggapai-gapaikan tangan. Menggerakkan kaki. Berusaha menyembulkan kepala agar tetap berada di permukaan. Namun tenaga melemah. Badan perlahan turun.

Di situ aku menyadari sesadar-sadarnya, yakni satu kesadaran tingkat akhir tanpa pernah ada bandingannya, ketika menatap gerombolan ikan pindang berenang dengan riang gembira mengelilingiku.

Bukan ikan pindang yang sudah digoreng garing oleh Ibu. Bukan ikan pindang yang sangat gurih disantap bersama sambal dan nasi hangat.

Gerombolan calon ikan pindang yang masih segar. Hidup dan menertawakan diriku yang meluncur menuju kegelapan.

Terbayang wajah Ibu. Mencemaskan aku berharap anaknya pulang. Cairan dari kedua mataku menggelincir, berbaur dengan asinnya air lautan.

Penyesalan datang terlambat. Sangat sangat terlambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun