Aku baru menyadari, Â sesungguhnya tiga ikan pindang merupakan lauk makan siang Bapak, Ibu, dan aku.
Parahnya, aku tidak segera menyesal lalu meminta maaf kepada Ibu. Aku malah ngeloyor pergi tanpa pamit tanpa ganti baju. Membanting pintu. Mengabaikan seruan Ibu.
Bukan itu saja. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak sedikit terjadi ketidakcocokan dengan Ibu. Terjadi pertengkaran-pertengkaran bahkan sampai Bapak berpulang.
Pamungkasnya, dan ini akhirnya, membuatku ingin kembali ke dalam rahim Ibu. Terlahir menjadi anak penurut, berbakti, dan tidak akan pernah menentang apa pun kata Ibu.
Aku menyadari sesadar-sadarnya, yakni satu kesadaran tingkat akhir tanpa pernah ada bandingannya, ketika menatap gerombolan ikan pindang berenang riang gembira mengelilingiku.
Beberapa hari lalu aku pamit kepada Ibu, untuk pergi merantau keluar pulau menuju tanah daratan di mana terletak kota besar, yang menurut teman-temanku merupakan ladang penghidupan tiada batas.
Di negeri metropolitan mudah mendapat pekerjaan. Memperoleh penghasilan dengan jumlah uang yang tidak mungkin didapat di kampung terpencil, tempat Ibu dan Bapak bermukim turun temurun.
"Kan masih ada ladang peninggalan Bapakmu," meski suara Ibu akhir-akhir ini lebih lemah karena termakan waktu, wajah keriputnya masih mencerminkan kerasnya hati.
Namun sekeras apa pun larangan Ibu, tekad sudah bulat. Mimpi menenggelamkan nasihat orang tua.
Aku pergi membawa bekal hasil penjualan ternak, meninggalkan Ibu dengan hati retak.
Kapal kayu memecah ombak perlahan meninggalkan dermaga. Dari atas anjungan aku menghirup angin laut. Menatap cakrawala di ujung lautan.