Saya punya kebiasaan janggal. Menyantap kerupuk yang sudah tidak berbunyi kriuk alias liat. Yaitu kerupuk melempem atau tidak mengembang sempurna.
Kalau masih baru, masih kriuk, kerupuk dibuat layu dengan mencelupkannya ke --misalnya-- kuah soto.
Sebelum diteruskan, saya sampaikan bahwa tulisan ini terilhami dari artikel anggitan Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang, 5 Alasan Kenapa Kerupuk "Wajib" Ada di Meja Makan. Selanjutnya dapat dibaca di sini.
Kecenderungan makan kerupuk melempem boleh jadi merupakan keanehan bagi orang lain. Ketika di warung saya mengambil kerupuk kaleng umur lebih dari satu hari, yang sedianya hendak dikembalikan kepada pemasok.
Kerupuk dalam blek biasanya berbentuk bulat ukuran sedang berwarna putih atau kotak berwarna krem. Kerupuk kampung ini biasanya berada di dalam kaleng warna biru/merah dengan satu sisi berupa kaca.
Kebiasaan "buruk" itu tidak tumbuh tiba-tiba.
Seperti sebagian keluarga di Indonesia, di atas meja makan selalu tersedia kerupuk. Demikian pula di keluarga saya.
Ditarik ke usia SD, keluarga tinggal tidak jauh dari industri rumahan pembuat kerupuk matang.
Biasanya Bapak akan meminta saya untuk membeli langsung di tempat pembuatan sekaligus penggorengan kerupuk.
Bukan kerupuk utuh. Pecahan. Remahan, tapi masih baru. Kerupuk apkiran, yang harganya jauh lebih murah daripada kerupuk utuh.
Satu kaleng kotak Khong Guan mungkin akan berisi sekitar 20 keping kerupuk utuh, ekuivalen Rp100 (anggap pada tahun 1970-an harga 1 kerupuk putih Rp5). Bandingkan ini. Dengan tidak lebih dari Rp50, satu kaleng itu berisi penuh kerupuk hancuran.Â
Perbandingan ini hanya ilustrasi. Saya lupa harga-harga pada saat itu.
Kerupuk patah, tak sempat mengembang, dan macam-macam ukuran tidak utuh. Warnanya pun campur: putih dan krem/agak cokelat.
Di antara hancuran ada kerupuk bantat atau tidak matang sempurna. Saya penasaran dengan bentuk dan rasanya.
Dari situlah kebiasaan makan kerupuk liat, bantat, melempem, atau tidak kriuk dimulai. Dan terus menjadi kelaziman bagi saya hingga dewasa.
Makanya pada masa sekarang pemilik warung terheran-heran, melihat saya mengambil kerupuk melempem yang seharusnya diretur daripada kerupuk masih baru.
Saya tidak begitu nyaman dengan bunyi kriuk kerupuk kala digigit.
Kalau mendapatkan kerupuk kriuk, saya akan mencelupnya terlebih dahulu ke dalam kuah soto atau bakso. Atau sejenak dikipas-kipaskan agar sedikit layu.
Namun sekarang saya tidak melakukan lagi kebiasaan menyantap kerupuk melempem, karena:
- Kini tidak pernah menemukan kerupuk hancuran, atau belum menjumpai pabriknya dengan kemungkinan mendapatkan kerupuk apkiran.
- Di warung-warung sudah jarang ada kerupuk lewat waktu. Kalaupun ada, terlalu kadaluarsa. Misalnya lebih dari 3 hari. Minyaknya terasa tengik.
- Sepertinya gigi sudah rapuh. Bukan berarti merasa sepuh, tetapi sayang bila patah akibat menggigit sesuatu yang liat.
- Mengandung risiko kesehatan bagi saya.
Berpengaruh terhadap kesehatan?
Menurut beberapa sumber, sekeping kerupuk putih dan sejenisnya mengandung 60% kalori, 30% lemak, natrium (garam), penyedap, dan sedikit protein. Jadi kerupuk minim gizi.
Dengan itu makan kerupuk putih berisiko terhadap penumpukan kalori dan lemak dalam darah, serta hipertensi. Itu hal-hal yang harus saya hidari.
Lagipula, memakan 3 keping kerupuk putih ukuran sedang setara dengan makan sepiring nasi putih. Sementara saya saat ini sangat membatasi makan nasi putih.
Keterangan tentang ancaman kesehatan mengonsumsi kerupuk putih dapat dibaca di sini.
Kendati sama sekali tidak menghindari, sesekali saya masih menyantap kerupuk.
Tentu saja dalam jumlah tidak berlebih. Makan kerupuk melempem alias liat alias bantat, atau membuatnya menjadi tidak kriuk.
Jadi, bagaimana dengan Anda, lebih suka kerupuk liat atau kerupuk yang masih kriuk dan renyah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H