Singkat cerita, "tarif" yang ditentukan berkisar antara 5-10 persen. Tergantung apakah proyek tersebut gemuk (profitnya tebal) atau tidak.
Namun jangan harap, transaksi akan ditandai dengan bukti dan transfer pembayaran. Tidak ada kwitansi. Pembayaran tunai, tidak jarang gepokan uang dibungkus keresek.
Jadi itulah yang saya maksud dengan mroyrek atau jual beli proyek. Salah satu bentuk kecurangan, yang sudah jadi rahasia umum dan sulit dibuktikan.
Pengetahuan penyalahgunaan wewenang tersebut saya ceritakan kepada Pak Toto. Berpesan agar tidak mengikuti jejak oknum anggota legislatif, yang cawe-cawe dalam proyek dan memperjual-belikannya.
"Tidak. Kalau terpilih, insyaallah tidak akan begitu. Belum dengar hal jelek tentang saya, kan?" Pak Toto menegaskan.
Iya juga sih. Saya tidak pernah tahu rekam jejaknya, berhubung waktu masih aktif saya jarang bergaul di lingkungan tempat tinggal.
***
Beberapa hari kemudian. Ketika sedang nongkrong di sebuah kedai kopi tidak jauh dari rumah, saya melihat Pak Toto memarkirkan motornya. Ia tidak melihat saya karena terhalang tirai.
Ia memanggil ibu penjual gorengan dan kopi. Mereka membincangkan sesuatu, lalu Pak Toto berjalan ke dalam gang.
"Ngobrol apa, Bu?"
"Nawarin jadi saksi di TPS untuk pemilu entar. Ogah banget, ora sudi aku. Mendingan dagang daripada dibayar segitu."