Kepada seorang caleg yang sedang makan nasi uduk di warung Emak saya menitipkan aspirasi, agar kelak ketika terpilih ia tidak terlibat dalam praktik "jual beli proyek."
Warung Emak adalah lapak di halaman rumah saya. Menjual gado-gado, nasi uduk, lontong sayur, dan aneka gorengan. Di tempat itulah berkumpul beragam pembeli, dari mulai tetangga, orang kantoran, pengantar anak sekolah, hingga pelintas.
Satu pelanggan tetap adalah Pak Toto (nama samaran). Bersama istrinya mampir jajan setelah jalan pagi. Pada satu saat saya menghampiri, mengucapkan salam, dan berbasa-basi.
Dalam pembicaraan terungkap bahwa mantan RW sebelah itu mencalonkan diri. Sebagai calon anggota legislatif pada pemilu mendatang, untuk daerah pemilihan Bogor Tengah mewakili partai tertentu. Katanya, sudah mendapatkan nomor urut.
Saya tidak berdiskusi tentang cara perolehan suara, tapi menitipkan pesan kepada Pak Toto bila sudah duduk menjadi anggota dewan agar tidak mroyrek.
Maksud saya begini. Ketika masih aktif menjadi pemborong, beberapa kali saya mendapatkan tawaran proyek di kota hujan. Dulu, lebih dari 5 tahun lalu.
Sejatinya saya lebih banyak bergerak dalam pekerjaan dari pemerintah Kabupaten Bogor. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis, pemborong beralamat di kabupaten tidak boleh mengerjakan proyek kota. Demikian sebaliknya.
Namun ada saja tawaran dari pihak tertentu untuk mengerjakan proyek APBD Kota Bogor. Sayang juga kalau dilewatkan. Soal mekanisme pelaksanaannya, mudah. Apabila memperoleh pekerjaan di wilayah tersebut, maka saya tinggal menyewa bendera perusahaan yang berdomisili di Kota Bogor.
Pihak yang menawarkan proyek mengaku mewakili atau mendapatkan amanat dari anggota legislatif Kota. Bila saya serius, maka ia akan mengatur pertemuan. Sekali saya berjumpa dengan satu anggota DPRD, di sebuah rumah makan yang berada di luar kota.
Bagaimana cara anggota DPRD memiliki kekuasaan atas proyek-proyek daerah? Itu akan menjadi cerita tersendiri.