Sabtu. Sayup-sayup terdengar suara azan. Langkah terseok-seok menuju sebuah rumah makan untuk menunaikan salat duhur seraya istirahat makan.
Seperti biasa, pada pagi akhir pekan saya olahraga jalan kaki dengan tujuan jauh. Saya memakai kaos polo lengan pendek tiga kancing dengan logo kecil, topi bentuk ember terbalik (bucket), celana pendek selutut, dan sepatu kasual.
Penampilan sebagaimana orang kebanyakan membuat gerakan menjadi ringan.Â
Dengan membawa tas cangklong saya jalan pelan, santai menikmati pemandangan, sesekali berhenti minum dan jajan camilan.
Sengaja menuju Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Cibalagung, Kota Bogor, untuk melihat-lihat pameran tentang wirausaha pertanian.
Setelah puas mengelilingi stan, melihat isinya sekalian membeli sebungkus kopi Sidikalang, jamu godogan, dan beberapa pernik, maka saya pun beranjak pulang.
Hari menjelang siang. Asam menggaruk dinding lambung. Pikiran pertama adalah mencari tempat makan.
Lapar mengarahkan pikiran ke sebuah rumah makan, yang terlihat dalam perjalanan sebelum mengunjungi pameran. Tempatnya tampak asri.
Rasa lelah dan lapar tidak mengizinkan kaki bergerak cepat, sehingga dengan menunduk saya melangkah sempoyongan. Jalan santai yang penting sampai.
Pada satu titik sebuah sedan hitam berhenti di hadapan. Penumpangnya membuka kaca. Menyorongkan sebuah bungkusan kertas berwarna abu-abu.
"Pak....pak...pak, ini!"
Saya terperangah. Melihat dengan saksama bungkusan berstempel tinta biru. Di situlah hati berubah jadi nano-nano. Sedih, terpukul, sedikit kesal, rasa sesal, dan ingin tertawa sekaligus mengasihani diri sendiri.
Kemudiaan saya menyadari sesuatu, sepertinya ada yang lebih berhak menerimanya.
"Tidak, Bu. Berikan saja kepada orang lain. Saya ...."
Tanpa menunggu penyelesaian kalimat, kaca bergerak naik. Lalu gerungan mesin empat silinder mendorong mobil.
Salah kostum!
Memang kaos berwarna cokelat awalnya merupakan seragam kegiatan pegawai dari sebuah instansi. Paman saya bekerja di kantor tersebut, bukan di mahkamah, mendapatkan pembagian.
Berhubung sang paman tidak sempat memakainya, ia pun menghibahkan kaos polo cokelat berlogo kecil kepada saya.
Ternyata dipakainya enak. Bahannya jatuh dan adem. Saya menyukainya.
Saya kerap menggunakannya. Artinya, juga sering dicuci. Mungkin matahari sedikit memakan cokelatnya ketika dijemur.
Kaos eks kostum, celana pendek, topi bucket, dan tas selempang membuat penampilan yang kemudian patut dikasihani.
Sempat ada rasa kesal. Ada keinginan menyalahkan pemberian paman sehingga saya salah kostum.
Tapi kok ya seperti umumnya sifat koruptor, yang selalu menyalahkan orang lain saat ditangkap. Teriak kriminalisasi, korban konspirasi politik, "disuruh" oleh aktor besar, dan alasan-alasan pembenaran lain yang dapat dicari di berita tentang korupsi.
Maka jangan biasakan melempar excuses. Itu sama sekali tidak bagus.
Saya harus mengakui telah keliru memilih dandanan dan berada di situasi salah, sehingga orang lain melihat dengan persepsi berbeda. Bukan salah mereka.
Juga bukan salah paman memberikan kostum --kaos polo cokelat berlogo kecil, tetapi sebab saya tidak memantaskan diri dalam penampilan.
Ke depan, saya memperbaiki kekurangan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H