Tiongkok dikenal sebagai pengekspor beragam barang. Dari jarum pentul, perlengkapan rumah tangga, alat pertukangan, hasil pertanian, produk fesyen, kosmetika, barang elektronik, hingga kendaraan bermotor. Apa lagi, ya?
Mengapa barang made in China bisa murah?
Tahun 1995 saya mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun radio swasta Jakarta. Forum tiga hari membahas mengenai inkubator bisnis.Â
Satu pembicara utama adalah pakar dari Kanada. Menurut keterangannya, inkubator bisnis terbesar di dunia ada di RRC. Pada zaman itu.
Inkubator bisnis adalah lembaga yang menyediakan ruang bagi pebisnis pemula untuk mengembangkan konsep usaha, memperoleh akses modal, mentoring usaha dari pakar atau fasilitator berpengalaman, pertukaran informasi bisnis, hingga mereka mampu mandiri.
Pemerintah Tiongkok menyediakan insentif kepada produsen, termasuk alumnus inkubator bisnis. Apabila menghasilkan barang untuk tujuan ekspor, maka mereka diberi keringanan pajak.
Tidak mengherankan, produsen di Tiongkok lebih suka menghasilkan barang untuk kebutuhan pasar internasional.
Artikel tahun 2010 dari Badan Standar Standardisasi Nasional mengatakan, Pemerintah Tiongkok memberikan fasilitas subsidi ekspor ke sektor pertanian, perikanan, industri farmasi. Juga kepada industri manufaktur: pengolahan makanan minuman, petrokimia, keramik, furnitur, alas kaki, besi dan baja, elektronik, mesin, hingga peralatan komunikasi (bsn.go.id).
Pada Mei 2022 VOA melaporkan, Tiongkok menyalurkan subsidi senilai ratusan miliar dolar kepada perusahaan domestik setiap tahunnya. Sedikitnya 248 miliar dolar, sebanyak-banyaknya 407 miliar dolar, pada tahun 2019.
Center for Strategic and International Studies (CSIS) mencium bahwa kebijakan tersebut berupa: subsidi langsung, pinjaman lunak berbunga rendah, penjualan properti di bawah harga pasar, keringanan pajak, dan kapital (sumber).
Tiongkok membelanjakan anggaran negaranya untuk subsidi. Mendorong industri dalam negeri agar menghasilkan produk ekspor demi mempertahankan pasar. Bahkan menguasainya.