Menunggu giliran dipanggil untuk mendapatkan pelayanan adalah pekerjaan membosankan. Apalagi kegiatan tersebut menghabiskan waktu setengah hari atau lebih.
Menunggu lama adalah pekerjaan membosankan. Bahkan mengesalkan. Bagaimana cara mengatasi kebosanan tersebut?
Setidaknya dua hari dalam satu bulan merupakan hari sibuk bagi saya, generasi muda tahun 1980an.
Satu hari sebelum pukul 8 pagi sudah tiba di Poliklinik Rawat Jalan sebuah rumah sakit, demi mengambil nomor antrean pelayanan dokter spesialis.
Sesungguhnya bulan lalu manajemen rumah sakit telah mengintrodusir aplikasi layanan nomor antrean secara online. Maka dua hari jelang kontrol rutin bulan ini, saya melakukan reservasi dan pendaftaran via aplikasi.Â
Isi data, lancar. Reservasi, lancar. Giliran hendak klik, kotak "daftar" masih abu-abu. Belum biru. Dipencet berkali-kali, aplikasi tidak bereaksi.
Coba lagi di hari berikutnya. Kejadian terulang. Mencoba beberapa kali, gagal juga. Apa boleh baut eh buat, besoknya saya berangkat pagi seperti sebelumnya.
Ketika menanyakan ihwal kegagalan daftar secara daring, dengan ringan operator mesin antrean berkata, "kadang berhasil, kadang gagal," lalu ia menyerahkan nomor antrean 236.
Nomor antrean? Bukankah pada bulan-bulan sebelumnya dapat berkas dari petugas untuk langsung diserahkan kepada perawat?
"Sistem lagi eror, Pak."
Melihat layar antrean dipanggil baru nomor 30. Atau 40, saya lupa. Pokoknya bakal menunggu lama!
Hampir dua setengah jam kemudian mendapat giliran menyerahkan surat kontrol kepada petugas pendaftaran. Dapat antrean nomor 12 pemeriksaan dokter. Sedangkan dokter spesialis akan datang pukul 11.30-12.00 (seharusnya praktik pukul 10.00-12.00).
Akhirnya giliran saya diperiksa dokter spesialis pada pukul 12.30. Lima menit kemudian saya kembali menuju meja perawat, untuk menyetempel resep dan minta surat kontrol bulan berikutnya.
Kemudian menuju kasir untuk mendapatkan surat eligibilitas. Terakhir menyerahkan resep ke instalasi farmasi. Maka, obat-obat untuk satu pekan diterima kurang dari pukul 15.
Alhasil, saya berada di poliklinik rumah sakit selama 7 jam, sodara-sodara!
Ditambah, esok harinya ambil sisa obat di apotek yang khusus melayani resep BPJS. Waktu tunggu (sampai dengan perolehan obat) lebih pendek, yakni kira-kira "hanya" 3 jam.
Seorang kerabat bertanya, apa tidak membosankan menunggu sekian lama? Kenapa tidak lewat jalur umum yang lebih cepat?
Bisa saja saya membunuh waktu dengan main gim atau nonton film di layar HP. Atau bisa pulang dulu untuk nanti kembali kira-kira menjelang waktu dipanggil.
Atau kalau tidak mau capek-capek antre berkepanjangan, pakai saja fasilitas pelayanan umum. Bukan BPJS.
Bisa saja pakai jalur umum. Apalagi jika saya sultan atau Ferdy Sambo, yang memiliki akses tidak terbatas. Bisa-bisa berangkat ke Singapura demi pemeriksaan kesehatan.
Ada keadaan di luar kendali. Menggunakan fasilitas BPJS lalu antre menunggu lama adalah hal di luar kontrol saya. Menjadi sultan juga di luar kemampuan saya.
Artinya, hal-hal di luar kendali tidak perlu saya perbincangan lagi. Saya akan mengontrol apa yang ada di dalam diri, di antaranya:
- Bagaimana saya menghabiskan waktu luang dengan hal bermanfaat, misalnya membaca. Atau menulis untuk Kompasiana.
- Bagaimana mengatasi rasa jenuh kelamaan duduk. Satu cara ya jalan-jalan di lorong rumah sakit atau nongkrong di warung di dekatnya.
- Meyakinkan kepada diri sendiri bahwa saya sedang berada di situasi menyenangkan.
- Mengendalikan agar tidak muncul pikiran negatif: betapa menyebalkan sistem yang dipakai. Ini adalah pikiran-pikiran yang berpotensi menyebabkan tindakan buruk, seperti marah-marah atau protes.
- Menyadari hambatan-hambatan dimiliki. Saya tidak mampu mengubah waktu atau, ya itu tadi, saya bukan seorang sultan yang bisa membeli apa saja.
- Terakhir, memberikan energi positif ke sekitar. Misalnya: tersenyum kepada sesama pasien, bercakap-cakap menyenangkan, berbagi makanan, berbuat baik, dan seterusnya.
Agar tidak bosan menunggu giliran dipanggil untuk mendapatkan pelayanan, maka saya mengalihkan pikiran.Â
Menjadikan kegiatan menunggu dalam waktu lama selayaknya piknik. Dan memang pada kenyataannya saya membawa bekal makanan dari rumah.
Menurut pemahaman saya, piknik adalah:
- Melakukan perjalanan untuk bersenang-senang.
- Berada di suasana menenangkan tanpa rush (serba terburu-buru).
- Menikmati penorama. Bukan pemandangan alam sih, tetapi polah tingkah pasien lain.
- Mungkin mingle (membaur) dengan orang sekitar.
- Kesempatan bagus untuk mencari inspirasi tentang apa saja.
- Menemui keadaan yang akan membuat diri lebih sehat.
Jadi, cara saya mengatasi kebosanan akibat menunggu lama adalah mengganggapnya sebagai piknik. Toh kontrol rutin dan pengambilan obat tersebut hanya terjadi pada dua hari dalam sebulan. Tidak setiap hari.
Bukankah kegiatan piknik tidak dilakukan setiap hari?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H