Tahu Campur adalah makanan enak banget. Lama tidak menjumpaiya. Sekalinya ada, tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya.
Hampir setiap Sabtu saya jalan kaki dengan jarak lebih dari 2 kilometer. Dilakukan tidak hanya demi tujuan mencari sehat, tetapi menuju tempat-tempat yang memberikan pengalaman baru.
Pun, tidak lupa berburu produk kuliner populer untuk memanjakan perut.
Olahraga jalan kaki ke berbagai tempat hanya terjadi di dalam Kota Bogor saja. Cuma sekali melenceng jauh banget ke Cirendeu Tangerang Selatan, bahkan sampai Lebak Bulus Jakarta.
Rasa-rasanya nyaris semua tujuan keramaian di Kota Hujan telah saya kunjungi. Juga mencicipi beragam jajanan populer, kecuali produk restoran waralaba global yang tidak begitu saya sukai.
Pada Sabtu lalu sempat bingung, mau ke mana?
Setelah menghitung kancing, akhirnya kaki melangkah ke arah kiri dari pintu pagar rumah. Entah mau ke mana, biar kaki menentukan.
Sampai di kawasan Air Mancur lanjut menyusuri Jalan Ahmad Yani. Tidak jauh melangkah tampak spanduk kecil di belakang sebuah mobil SUV hitam, "Sego Pecel Rp12 ribu."
Tak lama tersaji nasi dan sayur disiram saus kacang, di atas piring rotan beralas kertas dan daun. Ditambah sepotong tempe goreng, telur dadar, dan kerupuk.
Rasa pecel khas Jawa Timur itu enak disantap, dengan porsi pas untuk sarapan.
Lumayan laris juga pedagang pecel pada pagi itu. Terlihat enam penikmat berbeda, selain saya.
Energi pecel meringankan langkah. Kira-kira 400meter kemudian menyempil papan bertuliskan cagar budaya. Lorong satu meteran membawa ke pengetahuan baru: sebuah bangunan dan rumah juru kunci.
Kata kuncen, di dalam bangunan terdapat makam keramat Mbah Khair (Tubagus Abu Khair Bel Au, ulama asal Banten).
Keluar dari masa lalu, eh cagar budaya saya meneruskan perjalanan.
Memasuki Gang Karet 2 ingatan terlempar ke masa silam, bahwa pada zaman SMA saya pernah mengantar pulang Bu Guru Pelajaran Keterampilan. Sekarang saya lupa letak persis rumahnya.
Terus masuk ke dalam gang. Dinding-dinding dicat mayoritas warna merah putih, berkat sponsor satu merek cat tertentu.
Masuk lebih dalam. Ketika menjelajahi jalan sempit, saya melihat emak-emak sedang menjahit dengan tangan di sebuah rumah mungil. Ada setumpuk baju gamis menunggu pemasangan kancing.
"Khusus jahit kancing untuk baju grosiran. Ya, pesanan pabrik."
Sampailah di penghujung. Menyeberangi jembatan di atas kali Ciliwung, masuk mengamati perumahan Pabaton.
Kembalinya melewati gang berbeda. Sampai di Jalan Ahmad Yani lagi suara azan lohor menggema di angkasa.
Mendekati Taman Air Mancur, di sebuah lahan tempat jajanan, satu gerai menarik perhatian saya: Warung Pakde Khan menjual Rawon, Soto, Rujak Cingur, Tahu Tek, Tahu Telur, Tahu Campur. Itu yang terlihat dan teringat.
Aha, Tahu Campur!
Terakhir makan Tahu Campur sekitar tahun 2005-an di jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta.
Ke masa lebih lama, pada 1980an saya hobi ngandok di Jalan Bengawan Solo Malang. Udara dingin, membuat tidak cukup menyantap 1 porsi Tahu Campur.
Menurut hemat saya, hidangan berkuah ini merupakan kudapan. Bukan menu makan berat (istilah londo Amerika, main course). Jadi, nambah satu porsi tidak akan membuat perut meledak kekenyangan.
Itu cerita zaman dulu. Sekarang hasrat menggebu melihat sajian Tahu Campur di hadapan. Penampilan sama dengan yang dimakan pada zaman dulu.
Perbedaan mencolok adalah pada ukuran. Tahu Campur di depot Pakde Khan lebih banyak, daripada menu serupa yang pernah saya makan. Selebihnya sama saja.
Lebih dulu kuah panas diaduk sebelum disantap. Campuran petis udang membuat kaldu menjadi kecokelatan
Seporsi Tahu Campur berisi: irisan lontong, tahu goreng, lento (penganan terbuat dari singkong), mi kuning, tetelan, daun selada (lettuce), dan kerupuk. Jangan lupa tambahkan sambal, bila suka.
Mencicipi sesendok kuah panas adalah menerbangkan ingatan ke masa lampau. Cuma sebentar. Selanjutnya lidah bertualang mencecap rasa.
Kuah sedap berkat gabungan kaldu dan petis udang. Lento menyajikan tekstur padat, tapi empuk, berwarna kuning khas olahan singkong.
Sedangkan kikil rupa-rupanya dimasak dalam waktu lama sehingga tidak keras saat dikunyah. Tidak bikin selilit di sela-sela gigi.
Tidak butuh waktu lama Tahu Campur pun tandas. Orang-orang sekitar menoleh, demi mendengar suara sendok menyiduk sisa-sisa kuah di dasar piring.
Kok cepet habis? Padahal porsinya besar. Saya bilang sih, Tahu Campur boleh dianggap sebagai menu makan berat.
Saya sudah lama sekali tidak menyantap Tahu Campur, makanan favorit saya. Sementara penjualnya di Kota Bogor bisa dihitung dengan jari tangan.
Sekalinya menjumpai, memakan Tahu Campur ternyata tidak perlu waktu lama untuk menghabiskannya. Cepat betul.
Mau tambah seperti pada masa lampau, saya perkirakan perut tidak bakal mampu menampung satu porsi lagi Tahu Campur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H