Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

NKRI Harga Mati, Beli Bendera Jangan Ditawar Lagi

4 Agustus 2023   17:07 Diperbarui: 4 Agustus 2023   17:14 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan kemerdekaan ditandai dengan berjajarnya umbul-umbul dan bendera merah putih di tepi jalan.

Di Jalan Tentara Pelajar (d/h Cimanggu) Kota Bogor penjual menggelar dagangannya, sejak hari pertama bulan Agustus.

Menghitung sepintas, ada 7 penjual perlengkapan menyambut 17 Agustus di sepanjang jalan itu. Bisa jadi lebih.

Harga ditawarkan bervariasi. Tergantung ukuran. Harga mulai Rp25 ribu hingga Rp80 ribu untuk selembar bendera merah putih. Umbul-umbul ditawarkan seharga Rp35-40 ribu.

Saya lupa menanyakannya harga bendera merah putih kecil bentuk segitiga.

Melihat keraguan tercermin pada wajah saya, si penjual segera berujar, "boleh ditawar..."

Sejenak saya bimbang, menawar di harga berapa?

Demi menyamarkan kebingungan, saya meluncurkan pertanyaan, "orang sini, atau dari mana?"

Kemudian pada pagi itu perbincangan di tepi jalan kian menarik, sehingga saya perlu memesan 2 gelas plastik kopi tubruk dari penjual kopi keliling.

Ternyata saya baru mengetahui beberapa fakta sebagai berikut:

  • Penjual adalah perantau dari Cirebon.
  • Bersama 9 orang lainnya (sesama dari kampung halaman) menyewa tempat yang ia tidak ingat persis nama daerahnya.
  • Mereka paling banter berjualan sampai tanggal 17 Agustus. Bisa kurang atau tidak lebih dari setengah bulan.
  • Barang dagangan dipasok oleh seseorang yang disebut"bos", yang juga berasal dari Cirebon.

Dalam istilah berbeda mereka disebut reseller. Mempromosikan dan menjual barang orang lain kepada konsumen. Bedanya, mereka tidak membeli produk dari pemasok atau distributor.

Bos memodali dalam bentuk barang dagangan. Modal dikembalikan setelah barang laku.

Bendera dan pernak-pernik perayaan kemerdekaan yang tidak laku? Ya dikembalikan.

Penjual menawarkan harga kepada konsumen di atas harga dari bos. Selisih itulah yang menjadi penghasilan pedagang tepi jalan itu.

Saldo pengurangan harga jual dengan harga modal digunakan untuk membiayai:

  • Sewa tempat satu bulan untuk penggunaan selama setengah bulan.
  • Makan sehari-hari.
  • Ongkos pergi dan pulang Bogor-Cirebon.
  • Rezeki yang dibawa pulang setelah dua pekan merantau.

Setidaknya gambaran tersebut terbayang di dalam benak saya.

Jadi, berapapun hasil dari penjualan umbul-umbul dan bendera merah putih sangatlah bernilai bagi mereka.

Menyadari hal itu, lenyap sudah keinginan menawar harga. Saya menyerahkan sejumlah uang dan menukarnya dengan umbul-umbul yang tadi saya incar. 

Menurut hemat saya, membeli bendera atau perlengkapan perayaan kemerdekaan di pinggir jalan tidak perlu lagi tawar-menawar harga.

Tidak perlu ditawar-tawar, kendati ada pihak yang berusaha meniupkan perpecahan. Bukankah persatuan dan kesatuan NKRI adalah harga mati?

Eh, nyambung gak sih?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun