Setiap ditanya, sebagian besar teman saya ingin berhenti merokok. Berbagai cara untuk mewujudkan kehendak itu, tetapi tidak ada hasil menggembirakan. Tetap kecanduan rokok.
Seorang kawan antusias menghentikan kebiasaan merokok secara bertahap. Sedikit demi sedikit mengurangi jumlah konsumsi rokok menjadi 3 kali sehari. Satu setelah sarapan. Sebatang setelah makan siang. Satu lagi seusai santap malam.Â
Target nihil rokok akan tercapai pada tahap berikutnya. Teori bagus. Praktiknya tidak demikian.
Kepul kopi pagi rasanya tidak afdal bila tanpa asap rokok. Berbincang santai dengan teman lebih mantap sambil meniupkan asap putih ke angkasa. Dan saya rasa mudah menemukan alasan-alasan memadai demi membakar sebatang rokok.
Teman lain lagi mengurangi konsumsi rokok dengan cara mengalihkan perhatian. Mengunyah kembang gula atau makan camilan, demi menyibukkan mulut agar tidak sempat mengisap rokok.
Namun upaya pengalihan tidak berlangsung kekal. Kembali ke kebiasaan semula: merokok. Pangkalnya, mereka merasa bahwa makan camilan dan permen menambah lingkar perut.
Pengalihan termasuk mengganti rokok berbahan tembakau ke rokok elektrik, yang dianggap oleh sementara perokok "lebih aman" dan gaya, bukan lah solusi.
Namun demikian, saya tidak akan mengulas kelebihan pun kekurangan rokok tembakau dan rokok elektrik, dipandang dari segi kesehatan, rasa, dan harga. Sudah banyak bahasan.
Kenikmatan utama bagi perokok adalah asap. Melihat asap putih keluar dari hidung atau mulut bergulung-gulung menuju langit-langit --seraya membayangkan jalan buntu mendapatkan uang untuk bayar sewa kamar kos-- merupakan pengalaman melenakan.
Coba kalau merokok di dalam gelap membutakan, apa enak?