Pagi pukul 5 pagi lebih sedikit gawai bergetar. Pak Tjipta menyapa sekaligus mengirimkan berkas e-book, berselang satu menit usai saya berkomentar di artikel Kompasianer Maestro tersebut.
Gak pake lama, saya membuka buku berbentuk digital setebal 371 halaman termasuk cover. Satu demi satu lembaran format pdf disingkap.
Kompasianer kawakan, Ajinatha, merancang sampul. Foto diri Pak Tjiptadinata Effendi dengan latar belakang Rumah Gadang khas Minangkabau. Buku diterbitkan ole Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan pada Mei 2023. Masih anget.
Keterangan lengkap silakan baca sendiri setelah memesan e-book dimaksud kepada Pak Tjiptadinata Effendi.
Membaca daftar isi, buku merupakan kumpulan karya tulis. Melukiskan kegiatan sehari-hari hingga pengalaman hidup selama belajar di Universitas Kehidupan (meminjam istilah dari Pak Tjipta).
Otomatis dalam pemaparannya Pak Tjipta menyelipkan pesan-pesan berharga, hasil pengalaman dan pengamatan, serta filososi indah bagaimana menjalani hidup.
Pria yang baru saja merayakan ulang tahun ke-80 itu masih mampu mengikuti olahraga ekstrem, yaitu berburu abalone. Seraya bertutur, beliau menyampaikan kiat-kiat agar aman melakukan kegiatan berbahaya.
Mengamati hewan peliharaan dan di sekitar terbit pandangan, bagaimana berlaku baik kepada sesama makhluk hidup.
Interaksi dengan beragam karakter manusia selama waktu yang belum pernah saya tempuh, menghasilkan pribadi, antara lain: rendah diri, berlaku santun, menolong (satu ungkapan Pak Tjipta adalah Giving is Giving), penuh rasa cinta, pemaaf, menghargai orang lain.
Satu hal yang saya kagumi, dengan sangat meyakinkan Pak Tjipta mengakui sebagai keturunan Tionghoa yang sangat mencintai Indonesia. Kendati saat ini tinggal di Burns Beach, Western Australia, tidak sedikitpun jiwa nasionalisme beliau luntur.
Pak Tjipta dan Bu Roselina (pasangan abadinya ) tidak pernah lalai memenuhi undangan Kantor Perwakilan Indonesia di Australia. Termasuk, tentu saja, peringatan 17 Agustus memperingati Proklamasi Republik Indonesia.
Menurut saya, buku ini terlalu tipis untuk memuat pelajaran hidup yang berharga dan tiada habis.
Dituturkan dengan bahasa mudah dipahami. Tidak njlimet. Tidak ruwet bikin mumet kepala. Cara bertutur khas pembelajar hebat di Universitas Kehidupan. Â
Demikian sekilas tentang buku Saya Keturunan Tionghoa, tapi Orang Indonesia.Â
Saya hendak menyelam lagi, lanjut membaca buku bagus ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H