Saya membuat satu permisalan. Tebal lapis permukaan (surface course) menurut spesifikasi adalah 4 cm. Harga per meter persegi Rp190 ribu (tahun 2018 di sebuah proyek di Bandung). Untuk 1 km jalan lebar 5 meter, dibutuhkan 5.000 meter persegi lapis permukaan ekuivalen Rp950 juta.
Jika dan hanya jika tebal lapis permukaan dikurang 1 sentimeter saja, maka "keuntungan" adalah Rp237,5 juta. Bisa beli mobil apa, ya?
Itu baru satu lapis. Kalau tebal lapisan lain dikurangi? Volume pekerjaan pendukung dipangkas? Ngelaba berapa? Silakan dihitung sendiri menggunakan tabel di bawah.
Menggiurkan, bukan?
Bagusnya di Kota Bogor pengawasan dan uji mutu jalan berlangsung ketat.
Bila ketebalan permukaan kurang, kontraktor diminta melapis ulang. Sementara biaya lapis ulang tidak hanya terkait biaya material, tapi meliputi biaya mobilisasi dan lain-lain yang jumlahnya tidak sedikit.
Itu kalau cuma mencuri ketebalan lapis permukaan. Terkait pengurangan spefikasi kategori lebih berat, pelaksana bisa masuk bui.
Penutup
Jalan aus bisa karena air. Bisa karena kurang pemeliharaan Bisa sebab bobot kendaraan melintas. Atau kombinasi dari berbagai faktor. Maka kemungkinan itu diatasi dengan ilmu pengetahuan, teknologi, penerapan aturan pemakaian jalan, dan hal-hal dapat dikendalikan.
Misalnya: membuat kontruksi badan jalan lebih cembung; membangun drainase cukup; perkerasan rigid (beton) untuk lintasan kendaraan bertonase besar; pengawasan aparat; rutin memelihara jalan; dan seterusnya.
Namun teknologi tidak berdaya ketika berhadapan dengan persekongkolan manusia pemakan struktur jalan. Dapat diduga, jalan dengan pengurangan mutu setiap saat akan rusak. Menjadi seperti kubangan.