Jakarta adalah sejuta lampu. Spektrum listrik lebih terang dari purnama. Cahaya nan menarik laron dan ngengat. Membunuh sebagian serangga yang mengerumuni.
Tahun 1990 bermodal beberapa lembar kertas akademis dan kompetensi, saya melamar kerja ke berbagai perusahaan di Jakarta.
Lolos saringan di sebuah perusahaan perakitan otomotif terbesar di Indonesia, saya gugur di tahap interviu. Kalah bersaing dengan empat kandidat yang berpengalaman bekerja di perusahaan lain.
Satu tahun kemudian hasil ujian tertulis, tes psikologi, dan wawancara melabuhkan diri di sebuah perusaan keuangan skala nasional.Â
Lima atau enam tahun berkarier, seorang klien merekrut saya ke perusahannya. Tawaran tiga kali lipat gaji adalah cahaya menyilaukan.
Demikian seterusnya sampai tahun 2009-2010 saya bekerja sebagai pegawai dan merintis usaha di Ibukota. Dua dekade berjuang di Jakarta. Terakhir, berada di Bogor menekuni sebuah usaha kecil. Â
Saya mengerti, geliat ekonominya yang melampaui kota-kota lain di Indonesia adalah cahaya. Menarik perhatian pendatang seperti saya. Pendatang baru mengerumuni cahaya. Bisa menjadi berharta atau sengsara.
Menembus Metropolitan perlu senjata berupa keahlian dan keterampilan. Pendatang Wajib Punya Keterampilan. Tanpa fondasi dan kompetensi memadai mustahil mengalahkan kerasnya Jakarta.Â
Saya akan membagikan pengalaman, meski boleh jadi keadaan Jakarta 30 tahun lalu sangat jauh berbeda dengan perkembangan kini.
Berikut dasar-dasar atau modal yang mesti dimiliki oleh pendatang baru, sebelum memutuskan pergi ke Jakarta.
- Mental pejuang yang tidak gampang menyerah. Tanpanya, pendatang baru akan segera pulang kampung lagi. Bagi mereka yang tidak tahan, ngeri berada di Jakarta. Setiap saat bisa terlindas oleh kemajuan.
- Pikiran terbuka. Membuka diri terhadap gagasan atau argumen orang lain, kendati berbeda pendapat. Dengan itu tersedia peluang lebih besar untuk bergerak maju.
- Berani mengemukakan pendapat terutama di tim atau forum. Kemampuan yang dapat menarik perhatian.
- Mengambil sekaligus mengelola risiko. Jakarta tidak menawarkan tempat bagi pemain aman. Ada saatnya saya harus berlari, mengejar bus kota penuh sesak agar tidak telat masuk kantor. Bergelantungan di pintu. Risikonya jatuh sekaligus dicopet. Naik taksi? Belum habis bulan dompet keburu bolong.
- Beradaptasi. Pertama, terhadap cuaca panas yang kadang banjir. Berikutnya menerima bahwa: lalu lintas macet di banyak titik, orang serba terburu-buru, menu makanan mahal, bahasa yang berbeda, perilaku cuek, dan seterusnya.
- Mau berkeringat, bekerja keras, dan bersemangat. Tidak semua yang dibayangkan, atau yang diceritakan oleh teman perantau, adalah keindahan. Jakarta merupakan kombinasi dari surga dan neraka dunia.
- Memilih teman pergaulan. Dengan segala daya tariknya, Jakarta menawarkan pergaulan luas. Tapi mesti pilih-pilih ya, jangan sampai terjebak ke dalam pertemanan keliru.
- Juga penting diperhatikan: memiliki kemampuan akademik (syukur-syukur punya spesialisasi atau keahlian), keterampilan atau kompetensi dibutuhkan, dan (kalau ada) referensi cukup agar bisa memasuki dunia kerja.
Demikian modal, berupa: kemampuan, keterampilan, keahlian, dan kompetensi yang harus dimiliki oleh pendatang yang ingin mencoba peruntungan di Jakarta.
Ibukota menawarkan peluang pekerjaan dengan penghasilan lebih besar daripada di daerah. Sebaliknya, bisa lebih kejam dari ibu tiri (Ateng dkk, film "Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota", disutradarai Imam Tantowi tahun 1981).
Lebih elok, apabila mendedikasikan keahlian atau keterampilan dimiliki untuk membangun daerah sendiri. Bisa jadi penghasilan didapat tidak sebesar di Jakarta, tetapi biaya hidup daerah umumnya lebih rendah daripada Ibukota.
Lagipula, tiap tahun tidak perlu memikirkan biaya pulang kampung. Dengan berkarya di daerah sendiri, setiap saat bisa mudik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H