Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Sekolah Hanya untuk Warga Mampu

3 Mei 2023   17:08 Diperbarui: 3 Mei 2023   17:05 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar anak sekolah oleh Ramadhan Notonegoro dari Pixabay

Tanggal 1 Syawal 1444 Hijriyah. Hari pertama Idulfitri keluarga besar berkumpul. Makan hidangan lebaran. Bersilaturahmi. Sebagian melampiaskan rasa rindu satu sama lain setelah lama tidak bertemu.

Di tengah kegembiraan, anak gadis saya berseru, "Regina lewat di depan rumah. Lucu, pakai pita rambut warna kuning. Panggil ya?"

Tanpa menunggu persetujuan, ia menjemput gadis kecil itu. Membawa ke meja besar di mana terletak beragam hidangan lebaran.

"Makan ya? Pasti belum sarapan. Ketupat pakai rendang atau opor? Atau campur?"

Regina hanya tersenyum. Ia tinggal di rumah kontrakan. Maksudnya, rumah dengan deretan kamar yang masing-masing berukuran 2X5 meter persegi atau lebih sedikit.

Penyewanya biasanya pekerja informal. Tinggal sendiri ataupun bersama keluarga. Regina tinggal bersama bapak, ibu, dan kakaknya. 

Bapaknya bekerja serabutan. Kadang para tetangga menggunakan tenaganya untuk membetulkan genteng atau memangkas rumput halaman. Di luar itu tidak diketahui persis pekerjaan sesungguhnya.

Usianya kira-kira 9-10 tahun. Putus dari sebuah sekolah swasta di kelas 3 SD. Katanya, tidak ada bangku.

Seorang kerabat berbisik, sebetulnya bapaknya gagal memenuhi kewajiban membayar biaya ulang ketika kenaikan kelas. Tidak mampu membeli bangku! Terinformasi, sekolah swasta tersebut juga memungut iuran SPP agar pendidikan berlanjut.

Kakaknya, gadis berusia 13 tahun, juga putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah (SMP).

Jadi, di dalam keluarga perantau itu terdapat dua anak putus sekolah.

Saya menyekat persoalan Regina dan kakaknya pada faktor ekonomi dengan mengabaikan perkara lain. Itu butuh observasi tersendiri.

Dari kisah sepintas, diperkirakan atau ditarik simpulan sementara bahwa mereka putus sekolah sebab ketiadaan biaya. Ketidakberdayaan ekonomi menjadi kendala mengikuti pendidikan.  

Kenapa tidak dipindahkan ke sekolah negeri? Bukankah pendidikan di sekolah negeri sekarang tidak memerlukan biaya (uang pangkal, biaya pendaftaran ulang, SPP)?

Sampai titik itu saya tidak mengorek keterangan lebih lanjut, misalnya dengan bertanya kepada keluarganya.

Persoalannya, pendidikan menjadi sangat mahal bagi mereka. Memerlukan persiapan dan persediaan finansial tidak sedikit. Saya kira di luar sana masih banyak anak usia sekolah yang senasib dengan Regina.

Di dalam pikiran sekilas yang naif saya menafsirkan: ternyata sekolah hanya untuk warga mampu.

Tapi lupakan sejenak anggapan apa adanya tersebut. Saya lebih tertarik memikirkan solusi yang mungkin bisa dilakukan terkait anak putus sekolah.

  • Membaca bahwa tahun 2021 Kemendikbudristek meluncurkan Ayo Kursus, dengan Program Kecakapan Kerja (PKK) dan Program Kecakapan Wirausaha (PKW). Solusi gratis bagi anak putus sekolah melanjutkan kegiatan belajar mereka (kemendikbud.go.id/ayo kursus/).
  • Meneruskan informasi tentang kebijakan bantuan dana pendidikan, pemberian beasiswa pendidikan bagi masyarakat miskin, program bantuan siswa miskin (BSM), dan seterusnya. Bagi sebagian "kontraktor", alias pengontrak rumah petak, soal domisili yang berbeda dengan alamat tertera di kartu identitas menjadi kendala.
  • Mencari pihak dermawan yang bersedia menjadi orangtua asuh atau menyediakan bantuan.

Demikian pokok pikiran. Mesti diolah lebih lanjut agar bisa dilaksakan, sekaligus memupus anggapan bahwa sekolah hanya untuk warga mampu.

Boleh jadi sidang pembaca punya cara-cara lebih baik mengurangi jumlah anak putus sekolah.

Tanpa bermaksud pamer, keluarga besar saya melakukan langkah kecil untuk keluarga Regina. Ada yang mau gabung?

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun