Satu pengalaman kerja sama membuat saya mengalami kerugian tidak sedikit. Bukan hanya saja terkait uang, juga menyangkut nama baik.
Maka saya sangat marah terhadap pihak mitra yang sejatinya teman sendiri. Pria berprofesi sebagai guru SMA itu telah mengingkari kesepakatan. Saya menanggung semua kerugian. Maunya bagi untung, ia tidak mau berbagi buntung.
Saking tidak tertahankan, kemarahan nyaris merobek ubun-ubun. Artinya, tiada maaf baginya atas kesalahan fatal. Bahkan puasa Ramadan gagal melembutkan hati saya. Darah menggelegak. Wajah memerah. Mulut memaki, kendati ia sudah meminta maaf.
Bibir mengucap maaf yang mengambang. Kering tanpa makna. Saya tidak tulus memberikan maaf. Dendam tetap menggerogoti seperti kanker.
Butuh waktu lama --sangat lama-- mengikis penyakit hati itu. Perlu kelapangan hati untuk memaafkan orang lain.
Seorang sahabat mengingatkan bahwa Nabi Muhammad SAW dikaruniai akhlak mulia. Memaafkan orang yang memusuhi Beliau dengan kasih sayang. Bukan dengan amarah.
Al-Qur'an Surat Ali 'Imran ayat 134 menjelaskan, terhadap pihak yang telah melakukan kesalahan, seorang muslim bertakwa agar menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik kepadanya.
Bak oasis di padang pasir kering, embun menyejukkan itu membangkitkan kesadaran agar saya tulus memaafkan orang lain. Mengikis sifat amarah berkepanjangan.
Saya tidak ingin menjadi pendendam. Apalagi marah kepada orang lain sebab kesalahan dibuat sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H