Gampangnya, semangat Sustainable & Responsible Travel yang disebarkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI berarti wisata berkelanjutan dan bertanggung jawab.
"Lha itu kan terjemahan doang."
"Eh, iya ya...., mari kita cari tahu makna sesungguhnya!"
Cari-cari di Google ketemulah dasar pemikiran sustainable tourism dan responsible tourism. Kok tourism, bukan travel?
Turisme berkenaan dengan perpelancongan atau kepariwisataan. Aktivitas ke sebuah tempat untuk kesenangan (rekreasi). Travel atau perjalanan bermakna lebih luas daripada turisme. Selain untuk keperluan rekreasi, melakukan travel bisa demi tujuan bisnis, bersekolah di tempat lain, maupun mengunjungi keluarga atau teman.
Jadi, sepakat ya memakai kata travel.
Sustainable & Responsible Travel
Dasar pemikirannya adalah menjunjung kebiasaan meminimalkan dampak dari kunjungan dan memaksimalkan hal-hal positif dari wisata.
Kemenparekraf menerangkan khusus tentang sustainable tourism. Ia merupakan konsep wisata dengan dampak positif jangka panjang, terhadap lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi setempat maupun pengunjung (ditafsirkan dari sini).
Semangat yang bertujuan mencapai pengembangan perjalanan dan pariwisata berkelanjutan. Kehendak itu memerlukan peran berbagai pihak, seperti pengembang destinasi wisata, organisasi terkait perjalanan, industri wisata secara keseluruhan, serta individual wisatawan.
Individual pelancong bertanggung jawab atas pilihan-pilihan mereka dan dampaknya terhadap masyarakat berikut lingkungannya (sumber).
Wisatawan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, sosial, dan keekonomian setempat. Menghasilkan manfaat ekonomi lebih baik, berperan dalam peningkatan kesejahteraan, menjaga kelestarian alam dan warisan (heritage)Â kultural, bahkan membangun komunikasi menyejukkan dengan warga lokal.
Destinasi Wisata Tebing Keraton
Sembilan tahun lalu saya berkunjung ke Tebing Keraton, Bandung. Bukan sebagai turis, tapi perjalanan dalam rangka bisnis. Mengerjakan proyek pagar pengaman sekeliling dan jalan setapak.
Tebing Keraton adalah tanah menjuru dengan sekitarnya berupa jurang. "Tebing Keraton" disematkan agar menimbulkan kesan mistis. Nama aslinya adalah Puncak Cihargeum, sebuah kampung di Desa Ciburial, Bandung.
Bagian dari Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda, yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, menyajikan pemandangan indah. Dari ketinggian kita bisa menyaksikan hijaunya pinus dan pepohonan lainnya, sebagian Bandung, Maribaya, serta Gunung Tangkuban Perahu.
Pada waktu pagi atau sore kabut mengeliling Tebing Keraton. Suasana inilah yang membuatnya viral. Waktu itu, sejak subuh wisatawan berdatangan hendak menikmati suasana "melayang" di atas awan putih.
Pengelola memberikan dua pekerjaan kepada saya. Satu, membuat pagar beton di sekeliling tanah yang berbatasan langsung dengan jurang. Demi keamanan pengunjung. Dua, membangun jalan setapak --aslinya tanah, rumput, dan batu-batu besar-- dari pintu masuk ke tempat menikmati pemandangan alam.
Selama penyelesaian pekerjaan (finishing, lokasi ditutup untuk umum), mau tidak mau saya melihat perilaku wisatawan. Selfie, turun ke area berbahaya yang dilarang oleh pengelola, mematahkan ranting, menginjak tanaman, dan membuang sampah sembarangan. Padahal sudah ada papan larangan dan keranjang sampah.
Sudahlah. Saya hanya mampu mengingatkan. Tidak lebih dari itu. Fokus saya lebih ke pencapaian progress pekerjaan dan mengelola para pekerja agar memerhatikan spesifikasi, keselamatan kerja, dan cara memperlakukan lingkungan.
Sebelum memulai pekerjaan, ada tahap survei awal. Dihadiri oleh pihak pemberi kerja, konsultan perencana, konsultan pengawas, dan kontraktor pelaksana. Semua pihak berdiskusi, menentukan dan menyepakati batas-batas, ditutup dengan penandatanganan berita acara.
Setelah itu saya melakukan peninjauan. Berbincang santai dengan tokoh dan warga setempat. Beberapa hari, sampai saya mendapatkan informasi dan jaminan resources cukup.
Maka saya merekrut pekerja terampil dari warga lokal, yang akan digabung dengan tukang kepercayaan dari Bogor. Juga menggunakan jasa pak RT sebagai pemasok bahan alam (batu, split, pasir, bata merah). Ia menjamin kesesuaian kubikasi barang dikirim.
Tidak menjadi soal harga sedikit lebih tinggi dari umumnya harga suplier kota Bandung. Saya lebih menimbang hubungan baik dengan pak RT yang juga menjadi tokoh disegani.
Selain itu, saya membayar sewa sebagian rumahnya sebagai tempat bermalam. Juga memesan konsumsi tiga kali sehari untuk seluruh tim selama proyek.
Ternyata apa yang saya harapkan berjalan baik. Kinerja tukang dari warga lokal sangat memadai. Volume barang dikirim oleh pak RT memenuhi syarat. Tempat tinggal memang seadanya, tapi makanan disajikan cukup secara jumlah maupun gizi. Sesuailah dengan bujet digelontorkan.
Lebih menyenangkan lagi, hubungan dengan warga berlangsung dalam suasana kekeluargaan. Saya dan tim pekerja tidak menaruh batas kaku dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat.
Jauh setelah proyek selesai, saya berkunjung ke Kampung Cihargeum. Mengantar anak saya dan dua temannya yang ingin menyaksikan keindahan Tebing Keraton. Tiba di sana, jip saya merupakan satu-satunya kendaraan roda empat yang bisa mencapai kampung paling pucuk itu.
Biasanya mobil wisatawan hanya boleh sampai Warung Bandrek, perjalanan selanjutnya memakai jasa ojek yang ongkosnya aduhai. Rupa-rupanya preman-preman Warung Bandrek masih mengingat Jimny hitam pelat nomor F tersebut.
Tidak hanya itu saat di loket pintu masuk, petugas tidak mau menerima pembayaran dari saya. Gratis masuk untuk empat orang.
Lantas, apa hubungannya antara Sustainable & Responsible Travel dan proyek di Tebing Keraton?
Tentang pariwisata berkelanjutan dan bertanggung jawab memang saya baru mengerti sekarang, kendati tidak mendalam. Namun pengalaman mengerjakan proyek di Puncak Cihargeum memberikan cakrawala berbeda, yang akan saya rangkum di bawah.
Meski berkunjung dalam rangka bisnis, berada di Tebing Keraton saya berkesempatan menikmati pemandangan alam luar biasa. Ia menjadi cara menyenangkan untuk rehat sejenak.
Pemandangan memesona itu ada di Bandung. Berwisata Di Indonesia Aja. Tidak perlu jauh-jauh melancong ke luar negara. Saya Bangga Berwisata di Indonesia.
Namun menikmati wisata alam juga harus diikuti dengan turisme bertanggung jawab. Menjaga kelestarian sehingga sampai generasi berikutnya. Oleh karena itu, tanggung jawab individual wisatawan hendaknya dilakukan dengan:
- Menggunakan kemasan yang dapat dipergunakan lagi, misalnya membawa kotak makan (luch box) dan botol minum (tumbler) untuk menyimpan bekal.
- Mengurangi produksi sampah.
- Tidak membuang sampah sembarangan.
- Tidak mengganggu keadaan alam atau warisan budaya setempat.
- Mematuhi aturan, kebiasaan, dan panduan lokal.
- Membeli souvenir, hasil kerajinan, hasill pertanian, atau makanan minuman dijual agar menggerakkan perekonomian sekitar.
- Dalam situasi tertentu, ini  bisa ditambahkan: melibatkan warga setempat dalam proses pembangunan terkait destinasi wisata di wilayah tersebut.
Jadi, sustainable & responsible travel adalah wisata dengan meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif turisme.
Dengan itu, wisata keindahan alam dan warisan budaya di Indonesia akan berkelanjutan, apabila wisatawan bertanggung jawab terhadap --antara lain--aspek lingkungan, sosial, kultur, manfaat ekonomi.
Penting diingat, kita harus senantiasa Bangga Berwisata di Indonesia. Menikmati keelokan pemandangan alam, seni budaya, dan keramahtamahan penduduk lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H