Sejatinya untuk mendapatkan proyek perlu jalur yang melibatkan koneksi dan uang. Ssstttt..., ini rahasia: tanpa kenalan orang dalam dan amplop (di muka atau dijanjikan/commitment fee), maka perolehan proyek dengan cara lempeng hanya berupa jujur kacang ijo.
Selama proses perolehan, pelaksanaan, pemeriksaan, sampai dengan penagihan -mau tidak mau suka tidak suka- harus merogoh kocek. Kalau tidak, perjalanan bakal menempuh jalan terjal berbatu dan beronak-duri.
Jumlah keseluruhan "uang setan" itu bervariasi, 2,5 hingga 10 persen dari nilai pekerjaan setelah dipotong pajak-pajak. Itu termasuk perbuatan suap, bukan?
Di lapangan. Para pekerja ada yang berpuasa, ada yang tidak. Kalau soal orang makan atau minum, tidak jadi soal. Saya tahan menghadapi itu.
Namun aroma kopi diseduh dan asap tembakau dibakar rada menggoyang iman. Maklum, pada saat itu saya peminum kopi dan perokok berat. Ketika berpuasa, lebih peka terhadap bau asap rokok. Tercium lebih asam, lebih tajam.
Ditambah, panas matahari demikian menyengat. Helm proyek tidak mampu menahan siraman ultraviolet. Kalaupun berteduh di bedeng, hawa panas dari atap asbes mendorong keinginan minum jus dingin.
Ujian berikutnya menimpa kesabaran dan kemampuan menahan amarah. Paling dekat adalah menghadapi beragam karakter pekerja proyek. Ada yang mudah diajak diskusi. Ada pula yang ngeyelan, dikasih tahu malah ngotot.
Hal yang membuat hilang kesabaran dan menaikkan tekanan darah, adalah menghadapi mereka yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan proyek. Ormas tukang palak, preman, orang mengaku sebagai wartawan, dan siapa pun yang meminta uang dengan cara menggertak.
Menghadapi mereka tidak bisa dengan negosiasi menggunakan tata bahasa santun menurut pelajaran Bahasa Indonesia. Gertakan dihadapi dengan gertakan. Cuma itu.Â
Kalaupun memberi uang harus ditakar menurut aturan saya. Bukan mereka.