Dilematis. Satu hal kepingin merasakan lagi nikmatnya makan bebek. Di sisi lain ancaman kenaikan kadar kolesterol dan trigliserida tinggi membayangi.
Dari hari pertama bulan Ramadan langit Kota Bogor menitikkan air. Membuat enggan keluar rumah demi melihat sekaligus mengincar makanan minuman untuk pembuka puasa.
Sabtu pekan lalu selepas waktu ashar cuaca tampak murung, tetapi tidak hujan. Atau belum?
Lumayan, ada celah untuk jalan-jalan di sekitar. Menuju perkampungan yang biasanya mendadak bermunculan penjual makanan pembuka puasa.
Ternyata tidak. Tercatat hanya ada dua penjual "baru" di sana. Satu pria sedang menggoreng tempe di teras rumahnya. Di pojok orang-orang mengerumuni gerobak penjual es buah.
Pedagang muka lama menambah barang dagangan dengan kolak, es buah, mi glosor, dan mi goreng di antara gorengan, nasi uduk, dan bihun goreng. Entah bagaimana keadaan di dalam gang. Saya tidak menjelajahi sampai pedalaman.
Keluar menuju jalan raya. Tidak tampak penjual es kelapa muda dan pedagang takjil seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun di satu titik tampak ramai dengan pedagang, yang sepertinya bukan penjual dadakan bulan Ramadan.
Penjual cireng, sate, soto, martabak, es loder, gorengan. Dan ada satu warung tenda warna hijau muda yang saya baru lihat: penjual bebek goreng!
Oh iya, baru ingat. Saya kan sangat jarang jalan sore hari. Bisa jadi warung itu sudah ada sejak lama.
"Sudah delapan bulan di sini," kata penjual yang ternyata berasal dari Tanah Merah, Bangkalan, Madura.
Terlihat tumpukan tempe, tahu, ayam, dan bebek yang siap digoreng. Di bagian lain dari gerobak terletak potongan timun dan kubis (kol) untuk lalap. Juga sambal ijo dan hitam.
Tak lama datang pengendara ojol. Mengambil pesanan. Katanya, delivery order dari daerah Ciampea, daerah di Kabupaten Bogor berjarak 15 km dari lokasi warung bebek. Jauh juga ya?
"Banyak pesanan onlen yang jauh-jauh," terang penjual dalam bahasa Madura.
Malam Minggu sebelumnya ia melayani 26 pesanan online. Pada kaca gerobak menempel stiker beragam penyedia layanan pesan-antar dan pembayaran digital.
Warung juga telah memiliki pelanggan. Sebanyak lebih dari 100 potong bahan siap goreng, berasal dari 12 ekor ayam dan bebek, terjual habis setiap malam.
Untuk 1 bebek goreng, 1 ayam goreng, dan 1 ayam geprek lengkap dengan lalap serta sambal ijo dan hitam, saya membayar Rp45 ribu.
Maka saya pulang dengan membawa makanan baru digoreng yang rencananya untuk buka puasa.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi saya dengan kadar kolesterol dan trigliserida cenderung tinggi? Boleh tidak makan bebek goreng?
Olahan bebek tersohor sebagai makanan lezat yang mengandung protein, dan mineral. Lebih gurih dibanding olahan unggas lain.
Namun harap diperhatikan, lapisan lemak di bawah kulitnya lebih tebal dibanding unggas lain. Lapisan lemak ini menjaga panas tubuh bebek ketika berada di permukaan air.
Maka, daging bebek lebih banyak mengandung kolesterol daripada ayam. Ditambah pula proses pematangan dengan cara digoreng. Diketahui bahwa bahan pangan digoreng mengandung lemak trans, yang mesti dihindari oleh penderita kolesterol tinggi.
Alhasil, bebek goreng sebetulnya adalah makanan pantang bagi saya, yang sedang berperang melawan kelebihan kolesterol dan trigliserida. Memang pada pemeriksaan terakhir, kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida sudah berada di bawah ambang batas. Namun bukan berarti bisa bebas makan semaunya. Tidak begitu.
Dilematis. Satu hal kepingin merasakan lagi nikmatnya makan bebek. Di sisi lain ancaman kenaikan kadar kolesterol dan trigliserida tinggi membayangi.
Baiklah. Seusai salat magrib saya mengiris sepertiga potongan bebek goreng. Saya kira tidak lebih dari 50 gram. Dimakan bersama nasi merah setelah diberi sedikit sambal hitam dan ijo serta lalap.
Meski berserat, daging bebek terasa empuk ketika digigit. Rupa-rupanya bebek telah direbus lama dalam bumbu-bumbu.
Sambal ijo adalah cabai hijau gerus, ditumis bersama bumbu yang tidak saya ketahui. Sedangkan sambal hitamnya istimewa.Â
Dugaan saya, ia adalah cabai tumbuk dan bumbu, diolah dengan kelapa parut yang disangrai, dihaluskan, lalu ditumis. Pedas yang gurih banget, tapi saya tidak berani tambah. Berminyak!
Sudahlah. Tidak perlu diceritakan lagi bagaimana lezatnya bebek goreng berikut sambalnya, kendati saya hanya mencicipi sedikit.
Jadi, pada kesempatan buka puasa Sabtu kemarin saya sedikit mencoba bebek goreng. Rasa penasaran sudah ditebus. Selebihnya saya makan seperti biasa: nasi merah, sayur mentah dan rebus, serta tempe tahu kukus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H