Setelah gorden, di lantai terhampar kompor, tabung gas, penggorengan, dan alat masak. Sekilas tertutup oleh meja tempat menaruh dandang isi nasi uduk, wadah bihun goreng, dan keler berisi kerupuk. Donat, tempe, bakwan/bala-bala, risoles, pisang goreng dipajang di meja sebelahnya.
Menempel pada pagar besi terletak dua kursi lipat (joknya sudah mengelupas) untuk pembeli yang makan di tempat. Di salah satu kursi kemudian saya duduk berlama-lama.
Hanya ada kesederhanaan yang tidak dapat disembunyikan. Semua isi ruangan tampak jelas, kendati sebagian tertutup gorden. Itulah "kekayaan" Bu Nti. Tidak seperti horang kaya yang pamer kekayaan demi memperoleh pengakuan sosial, Bu Nti tidak sempat menyombongkan benda konsumsi yang mencolok. Lha wong tidak punya!
Kekayaan, tepatnya harta benda dimiliki Bu Nti tampak jelas, sekalipun tanpa dipamerkan. Suatu kesederhanaan yang tidak dapat disembunyikan dari pandangan mata publik.
Saya percaya, masih ada orang-orang di luar sana yang berada di strata sosial seperti Bu Nti. Bahkan dalam keadaan lebih sulit. Berapa jumlahnya? Biarlah mereka yang pandai akan menghitungnya.
Jadi, masih ingin pamer kekayaan?
Bu Nti berusaha membuat keadaan lebih nyaman dengan memutar lagu-lagu nostalgia. Dari telepon pintar dan pengeras suara mini terdengar nyanyian melengking. Bikin galau. Membuat langit mendung makin murung.
Yang ku pegang hanya kata
Bukan janji-janji indah yang membuat aku lupa diri
Tatapanku kian jauh
Ku harapkan bayanganmu tapi tiada kunjung jua
(Sebagian lirik lagu "Yang Kunanti" -- Inka Christie dikutip dari kompas.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H