Semua harta terlihat jelas di ruang seluas kira-kira 3x3,5 meter persegi. Separuh menjadi kamar tidur. Selebihnya adalah tempat berjualan.
Agar kadar tinggi kolesterol dan trigliserida turun, maka saya harus disiplin dalam pola makan. Termasuk perihal jajan. Suka tidak suka saya menjauhkan pandangan dari, di antaranya: penjual mi ayam, bakso, daging dalam kuah, nasi putih/lontong, dan gorengan.
Iya, gorengan! Itu penganan yang bertebaran di sekitar rumah. Tiap melintas di depan satu penjual gorengan saya hanya bisa mengucap halo.
Lantas pedagang tersebut menyeru, "nyaneut yeuh!" (ngemil, yok!).
Berhubung tidak tega, saya mampir. Mengambil sekerat tempe goreng berselimut tepung. Lima potong dibungkus, rencananya diberikan kepada ibu pemungut botol plastik dan kardus bekas di bak sampah. Kemudian memesan segelas kopi seduh yang akan menemani saya menulis artikel ini.
Bu Nti, demikian para langganan memanggil, menyewa bagian depan dari emper mobil yang disekat dengan papan tripleks. Semua harta terlihat jelas di ruang seluas kira-kira 3X3,5 meter persegi. Separuh menjadi kamar tidur. Selebihnya adalah tempat berjualan.
Tidak ada dinding penahan selain pagar besi. Di balik tirai cokelat, orangtua tunggal itu beserta putranya yang kelas 3 SD tidur di selembar kasur tipis. Pada malam-malam yang beku tentu saja gorden tidak mampu menahan terpaan angin dari arah lapangan.
Etalase kaca di atas meja beralih fungsi jadi lemari menyimpan bahan pangan hingga gelas. Di satu sudut menggeletak ember berisi pakaian kotor.
Pertanyaannya, dari mana ia mendapatkan air bersih?
Sementara di ruangan itu tidak terlihat meter dan instalasi air. Cuma meteran PLN dengan satu lampu. Teka-teki tetap menggantung di dalam kepala. Saya tidak sanggup mengekspresikannya.