Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Kesurupan Teknologi

20 Februari 2023   19:58 Diperbarui: 20 Februari 2023   20:18 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam berkabut. Embun melayang-layang. Napas tersengal-sengal. Kilat mata menyibak alang-alang yang berangsur rebah.

Belasan orang mengendap-endap menyeberang jalan. Setelah semua tiba, seseorang --bisa jadi pemimpin rombongan-- memberi isyarat. Pasukan kecil kembali bersembunyi di balik ilalang. Melata tanpa suara.

Demikian, mereka bergerilya dalam rangka menghampiri kawasan industri mesin hibrid. Kompleks berpagar itu tampak kecil dari kejauhan.

Sebelumnya pengintai melukiskan, area inti dikelilingi oleh pemisah rangkap berupa konstruksi tiang-tiang baja berdinding kawat. Yang padanya mengalir listrik tegangan tinggi pada lapis paling luar demi memastikan bahwa, seketika makhluk hidup yang menyentuhnya menjelma keripik. Saat ditarik dari dinding kawat, renyah hingga tulang-tulangnya.

Penyerbuan penuh risiko. Menembus selapis penghalang di mana setelahnya berdiri hambatan kukuh satu lagi yang mesti diterobos. Soal paling berbahaya, menghadapi pengendara roda dua yang kejam terhadap manusia-manusia berkaki dua.

Kota-kota tidak sama lagi dengan keadaan pada masa yang rasanya belum begitu lama. Dalam tempo singkat kecerdasan buatan mengambil sebagian besar pikiran. Oleh karenanya mengubah banyak segi dari kehidupan manusia.

Artificial intelligence atau AI digunakan dalam sistem komputasi agar bekerja logis. Kemudian diaplikasikan pada cara berpikir teknologi robotika. Lalu dengan cepat berkembang menganeksasi ruang nalar dan pengambilan keputusan yang merupakan sifat ilahiah manusia, menggunakan permodelan generalisasi statistik rumit berbasis data.

AI telah melewati rangkaian proses belajar panjang, penalaran (reasoning) akurat, lalu dari waktu ke waktu dengan cerdas melakukan perbaikan atas perilaku. Dengan itu pula, manusia tidak perlu lagi repot-repot berpikir menciptakan mesin dan peralatan yang memudahkan kehidupan.

Merakit data berserakan. Menarik kesimpulan terhadap berbagai persoalan. Putusan hukum. Menyusun disertasi doktoral. Mengkreasi karya seni. Mencipta lagu dan meng-orkestrasi konser. Melukis. Bikin puisi dan cerita fiksi. Itu baru sebagian contoh.

Kemajuan mutakhir, AI mengembangkan mesin dengan teknologi hibrid. Bukan menggabungkan motor bakar dengan penggerak elektrik yang merupakan teknologi tahun 1900-an. Itu ketinggalan zaman.

Jauh lebih rumit! AI sukses mengawinkan manusia dengan perangkat penggerak berbasis listrik. Dua roda kiri kanan ditransplantasi menggantikan fungsi sepasang kaki.

Sumber dayanya: sinyal elektrik aliran lemah dari tubuh yang diubah oleh AI menjadi listrik bertenaga kuat. Memutar roda-roda. Bersamaan dengan itu, AI mengambil alih sebagian besar dari sistem pikir dan nurani manusia.

Maka lahirlah satu era di mana manusia mengalami kesurupan teknologi. Muncul obsesi meng-hibrid-kan umat manusia. Sejak saat itu pula manusia-manusia pengendara roda dua berambisi mentransformasi manusia-manusia berkaki dua berikut kebudayaannya.

Manusia berkaki dua tersisa terpinggirkan ke hutan lebat dan bukit-bukit yang sekiranya sulit dijangkau oleh manusia beroda dua. Sejarah tentara federal melenyapkan suku-suku Indian berulang dalam bentuk lain.

Manusia beroda dua demikian kejam. Memprovokasi setiap manusia berkaki dua yang terpergok melintasi jalan.

Ya! Kini kota-kota tidak memerlukan trotoar. Tiada sepotong ruas untuk manusia kaki dua. 

Jika tampak di jalan manusia berkaki dua yang tidak tunduk kepada kemauan mereka, maka tanpa ampun manusia beroda dua akan menabrak dengan kecepatan tinggi sehingga terlontar ke udara. Berputar sejenak lalu terhempas kencang.

Tidak puas dengan hasil tersebut, tubuh laksana tapai dilindas berkali-kali sampai gepeng rata dengan aspal hitam. Darah berceceran meresap dan sebagian darinya mengalir ke sistem pembuangan air kotor.

Kalaupun terlihat manusia generasi lama di dataran alang-alang maupun hutan, maka manusia beroda dua akan "menembak" menggunakan senjata listrik berkekuatan dahsyat yang tertanam dalam tubuhnya.

Sedang manusia yang menolak kemajuan itu sebisanya melawan menggunakan peralatan tradisional, seperti senapan laras panjang yang telah dimodifikasi, senjata otomatis, pelontar peluru, dan tentu saja pistol sebagai pelindung terakhir.

Mereka mengikir ujung tajam peluru-peluru, sehingga ketika menembus kulit memasuki tubuh akan pecah berantakan. Organ-organ dalam buyar, ambyar tidak bakal membentuk manusia lagi.

Dengan bekal persenjataan itulah belasan manusia berkaki dua mengendap-endap menghindari pantauan manusia beroda dua. Bergerilya hendak menyerbu kawasan industri pembuatan manusia hibrid. Yaitu pusat transplantasi manusia berkaki dua menjadi manusia beroda dua. 

Di sanalah putra kepala gerilyawan ditahan.

Beberapa hari sebelumnya, putra tunggalnya bersama beberapa remaja diculik oleh kelompok manusia beroda. Mereka bertualang jauh dari permukiman, terlalu dekat dengan kawasan modern.

Di depan pagar kawat, sebagian orang mengawasi keadaan sekeliling. Satu orang ahli memutus kabel beraliran listrik. Menggunakan gunting besi, dua orang memotong kawat harmonika. Membuat lubang yang sekiranya cukup dilalui orang merangkak.

Pasukan bergerak cepat di bawah bayang-bayang, menghindari sorotan lampu. Aman. Melipir dinding. 

Peta hasil pemindaian drone berkamera resolusi tinggi mengantar ke satu bangunan putih. Jendela-jendela dengan terali batang baja diameter besar. Dari kisi-kisi itulah sang kepala gerilyawan mengintip.

Sedikit terhalang meja, samar-samar terlihat putranya duduk lesu. Teman-temannya berselimut di ranjang dingin. Cahaya berbaris melalui kisi-kisi.

"Ssstttt.... ssstttt ....!!!

"Siapa?"

"Ini Ayah! Aku akan mengeluarkanmu, nak. Mundurlah!"

Sesuai rencana, para penyusup menyebar. Sisanya tetap di tempat memasang peralatan dan berwaspada mengamati situasi.

Kurang dari tiga menit setelah itu, seluruh anggota berkumpul. Sejenak berkoordinasi lalu menjauh mencari perlindungan.

Terdengar dentuman besar. Satu, dua, tiga, empat, lima kali ledakan besar dalam selang waktu nyaris bersamaan. Di antaranya, ledakan kecil di hadapan mereka.

Seketika mengapung suara riuh rendah. Manusia-manusia beroda dua demikian panik. Teriakan ketakutan bersahutan dengan nyaringnya sirene. Api menerangi cakrawala. Asap membumbung.

Gambar ledakan oleh dari Pixabay
Gambar ledakan oleh dari Pixabay

Para gerilyawan menghampiri bangunan yang satu dindingnya telah berlubang.

Seseorang menyeru, "ayo, cepat keluar ....!!!"

Anak-anak muda terlolong-lolong demi mendengar kegaduhan. Muka mereka pucat dengan tatapan kosong.

Namun kemudian putra kepala gerilyawan tersadar. Dengan kharisma warisan sang ayah ia mengomando teman-temannya, "serbuuuuu....!!!"

Serta-merta sekelompok remaja bangkit. Berdesing-desing. Roda-roda berpusing-pusing. Berdecit-decit meninggalkan jejak hitam pada lantai.

Sang ayah --pemimpin para gerilyawan-- baru menyadari sesuatu ketika semua sudah terlambat. Selepas itu mereka berlari dan berlari sekencang-kencangnya tanpa sekalipun sempat menoleh lagi ke belakang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun