Melintas di depan lapak gorengan sebelah sebuah warung kelontong, saya tidak mampir seperti kebiasaan sebelumnya. Persoalan kolesterol tinggi menghalangi untuk singgah.
Sang penjual memanggil, "nyaneut euy! Ayeuna meni tara mampir?" (Bahasa Sunda: ngemil yok! Sekarang kok tidak pernah mampir?)
Takenak, maka saya berbelok. Menarik kursi. Raga mengantar mata menyapu sajian yang sekiranya bukan digoreng.
Seporsi bihun goreng tidak terlalu berminyak dengan harga Rp3.000 berpindah ke perut. Mencuci mulut dengan dua potong dadar gulung seribuan.
Seseorang hendak membeli Kamua di warung kelontong Uda. Ternyata habis.Â
Penjual gorengan menyeru, "beli di toko Agus saja. Ada kok!"
Calon pembeli tersebut hanya mengangguk. Lalu menuju ke gerai lain, tidak ke toko Agus yang sejatinya juga menyediakan air mineral galon merek sama.
Penjual gorengan heran, meskipun harga sama, mengapa banyak warga enggan berbelanja di toko seberang warung kelontong Uda itu?
Dua gerai tersebut menyediakan barang dagangan kurang lebih sama. Harga tidak berbeda. Lokasi juga sama-sama strategis, berada di sekitar permukiman. Namun warga memilih mencari barang di warung lain atau nanti kembali lagi, daripada membeli di toko Agus.
Uda orangnya asyik. Dengan ramah melayani pembeli siapa saja dengan nilai belanja berapa saja.