Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Tanpa Asbak

7 Februari 2023   19:57 Diperbarui: 7 Februari 2023   19:58 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kursi merah oleh Pexels dari Pixabay 

Tidak ada satu pun asbak dapat ditemukan. Di rumah bagus yang berada di tempat lebih tinggi daripada halaman luasnya.

Ring terpasang pada arteri menuju jantung pria penghuninya. Istrinya, guru streng. Akan sangat murka apabila mengetahui salah satu muridnya merokok. Maka, seorang anak teramat manis tumbuh di lingkungan tanpa asap nikotin.

Nay. Putri semata wayang berkelimpahan segala macam kasih sayang. Tumbuh cerdas mewarisi kepintaran ibu. Setelah lulus perguruan tinggi berniaga meniru jiwa wiraswasta ayah.

Sukses. Manis. Cantik. Apa lagi? O ya, masih sendiri.

Belum ada pria serius mendekati. Kedua orang tuanya mengharapkan agar Nay mulai memikirkan kehidupan berumah tangga. Tapi bagaimana?

Kalaupun ada pemuda dekat dengan Nay, eh ternyata perokok. Bakal diabaikan di rumah tanpa asbak tanpa asap.

Lagian putri semata wayang bersikukuh --mewarisi sifat ibunya-- ketika disinggung tentang calon pasangan.

"Ntar dulu. Aku sedang fokus ke bisnis. Masih banyak yang belum tercapai."

Berbeda dengan sang ayah, Nay menjalankan usaha merancang bagian dalam bangunan. Gadis lajang penyuka kerapian penuh estetika warna-warni. Tidak sedikit pelanggan merasa senang dengan hasil karya apik dara cantik.

Ada satu tantangan rumit. Seorang pria flamboyan memberikan kepercayaan untuk membangun rumah luks. Satu proyek besar dengan harga di atas pasar. 

Pelanggan itu tidak mau tahu. Menyerahkan proyek begitu saja. Mungkin agar Naya mau menyerahkan jiwa dan raganya. Mungkin ya.

Nay mampu, bahkan sangat mampu, menyelesaikan urusan interior dengan sempurna. Tapi pekerjaan sipil?

Proyek ditolak? Sayang jika cuan gede hanya jadi kenangan. Diambil? Hasil jelek atau pekerjaan berantakan tidak selesai bukan tujuan.

Bermalam-malam Nay mengaduk pikiran, sampai seorang sahabat mengusulkan satu ihwal.

"Bagaimana jika bermitra?"

"Dengan siapa? Iya kalau cocok, kalau enggak? Aku tidak punya kenalan terpercaya sesuai syarat."

"Ada. Aku punya kenalan baik yang boleh dipercaya."

Noy. Insinyur sipil lulusan perguruan tinggi terkemuka. Berpengalaman menangani bangunan luks. Dewasa dalam menangani proyek-proyek penting. Sangat dewasa.

"Baiklah. Tidak masalah berpartner dengan bapak-bapak. Aku bisa belajar banyak."

Bapak-bapak?

Tidak seperti dibayangkan. Noy masih muda. Mungkin usia mereka terpaut tidak lebih dari tujuh tahun. Kalaupun lebih, tampak muda dengan dandanan kasual.

Ternyata kerja bareng dalam satu proyek memberikan banyak pandangan berharga. Noy tipikal pekerja dengan kemampuan luar biasa. Sebaliknya, ia terbuka pikiran menerima masukan baru yang bukan bidangnya.

Interaksi Nay dengan Noy berlangsung sungguh-sungguh sehingga menciptakan hasil optimal, terutama menjelang akhir proyek. Siang malam turut  menyelesaikan detail, sekalipun bukan pekerjaan sipil.

Kolaborasi menyenangkan. Tidak rugi Nay bermitra dengan Noy yang ganteng.

Ganteng? Ada getar-getar menyemburat di wajah Nay yang seketika memerah kala memikirkan Noy.

Ah, fokus, fokus! Kembali memikirkan pekerjaan, batin Nay.

Ada satu masalah serius. Pemuda itu --moga-moga belum punya pasangan-- adalah kereta api. Selama berinteraksi, Nay menyaksikan jemari Noy tidak pernah lepas dari bumbung kertas berisi tembakau. Dalam keadaan santai mengepulkan asap, lebih-lebih saat sibuk.

Berkali-kali berkunjung ke rumah, Noy tetap mengepulkan asap menyebalkan. Meskipun berkali-kali pula Nay mengingatkan, tiada satu pun orang rumah pernah menyukai perokok seperti Noy.

Dasar Noy. Sekalipun tidak menemukan tempat membuang abu dan puntung di dalam rumah Nay, ia mengepulkan asap dengan asbak halaman luas.

Nay tidak ingin bertengkar dengan orang tuanya gara-gara pria perokok. Berharap Ayah dan Ibunya menerima Noy sebagaimana adanya, tapi bagaimana bisa?

Harapan-harapan melambung, kemudian segera tenggelam oleh hambatan-hambatan. Maka dari itu Nay berusaha menekan hati dan menganggap Noy sebagai partner saja. Tidak lebih.

Ah, sudahlah! 

Nay menghentikan lamunan. Menutup pintu hati. 

Campuran grenadine, ginger ale, lemon, dan soda telah lama tandas. Setelah membayar dua gelas Shirley Temple, mocktail)* kesukaan, ia melangkah ke tempat parkir. Mengemudi santai menuju rumah.

Nay melihat kendaraan putih milik Noy. Mau apa dia? 

Setelah menaruh sedan di tempatnya, gadis manis itu bergegas menuju serambi depan. Ibu dan Ayahnya sedang berbincang seru dengan Noy yang duduk di kursi merah. Nay tercengang melihat wajah mereka.

Gambar kursi merah oleh Pexels dari Pixabay 
Gambar kursi merah oleh Pexels dari Pixabay 
"Lekas buatkan minum untuk nak Noy! Ia hanya mau kopi bikinan kamu."

Dengan ekor mata, Nay memandang air mineral tinggal seperempat gelas dan stoples berisi keripik gadung di meja teras. Serta satu asbak bau toko.

Asbak. Ya, wadah yang biasa untuk menampung abu dan puntung rokok.

Hah, ... asbak???

Bola mata berbinar. Bibir perlahan melebar. Kedua ujung tertarik ke atas. Hati Nay taman bunga, bersemi lalu berkembang indah mewangi.

)*Mocktail adalah minuman segar non-alkohol terbuat dari sirup dan berbagai bahan. Biasanya disajikan di kafe-kafe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun