Saya adalah penyuka Chinese food. Teknik memasak cepat dengan api besar, menggunakan bahan segar dan bumbu serta saus, menghasilkan makanan dengan citarasa khas.
Mengepulkan aroma memikat. Gurih. Menggigit. Membuat lidah enggan berhenti mengecap sampai titik kuah penghabisan.
Satu restoran langganan terletak di lantai dasar Gedung Menara Mulia, Jakarta Selatan. Makan siang bersama kolega atau menjamu tamu kantor.
Tim (steam, kukus) ikan males, Peking duck, ceker ayam pakai wijen, sayur asparagus merupakan bagian dari set menu yang masih saya ingat.Â
Salah satu masakan yang juga menarik perhatian karena langsung diolah di depan mata adalah "udang berdansa" (kalau tidak salah).
Udang diolah dalam cooking wine dengan bumbu-bumbu yang saya tidak tahu. Udang berukuran besar menggeliat karena ia dimasak dalam keadaan hidup. Kalau dipikir-pikir sekarang, ya kok saya demikian tega memakan udang yang pastinya sangat tersiksa.
Restoran itu full service, artinya pegawai-pegawai melayani dari mulai reservasi, mengantar ke meja, menuliskan pesanan tamu, menyajikan makanan, serta membagikan dan menata makanan ke piring misalnya termasuk memisahkan daging ikan dari duri.Â
Setelah krisis moneter 1998 saya tidak lagi menyambanginya, sebab: harganya mahal betul!Â
Tahun 1995 seporsi tim ikan males Rp 70 ribu (kurs 1 dolar AS eq. Rp. 2.250). Belum ditambah appetizer, sayur, nasi, makanan penutup, minum, pajak... Males lah nyabut isi dompet.
Tidak berarti kesukaan terhadap Chinese Food berhenti. Banyak alternatif. Umpamanya restoran yang melayani pesanan single dish dengan teh tawar anget gratis.
Atau menikmati masakan China di warung-warung tenda, seperti misalnya di Pecenongan Jakarta Pusat.
Saat pindah lagi ke Bogor, pilihan tempat penyedia Chinese Food beragam. Warung tenda khusus masakan China menjadi tujuan. Ada beberapa pilihan di berbagai tempat.
Sebagian kokinya memang warga keturunan Tionghoa yang turun temurun memegang rahasia masakan. Atau tukang masak yang pernah bekerja di restoran Chinese Food lalu membuka usaha kuliner sendiri.
Satu warung tenda menjadi langganan. Harga terjangkau dengan rasa masakan memuaskan. Enak itu bukan hanya kata lidah sendiri, tapi berdasarkan penerimaan putri sulung saya.
Sesekali makan di tempat bersama keluarga. Masakan baru diangkat dari wok (wajan hitam) sensasinya memang berbeda dengan makanan untuk dibungkus.Â
Pilihannya beragam, tergantung selera anggota keluarga. Paling sering adalah makanan dibawa pulang untuk disantap bersama keluarga, yaitu:
- Mi dan/atau kwetiau goreng seafood. Ini favorit keluarga, mi dengan isian udang, cumi-cumi, bakso ikan, dan tentunya telur. Semua orang menyukainya.
- Cap cay. Olahan berbahan sayur (wortel, kubis, caisim, jagung muda, kacang kapri, kembang kol), ditumis dengan telur, ayam atau seafood.
- Fu Yung hai. Semacam telur dadar dengan isian daun bawang, wortel, dan ayam (atau kepiting) cincang. Dimakan dengan saus kacang polong yang ditambahkan tepung maizena agar mengental.
- Ayam goreng mentega. Ayam goreng yang ditumis dalam margarin, kecap, bawang, dan bumbu. Rasanya yang manis gurih dan crispy sangat disukai keluarga.
Bukan berarti terbatas pada pilihan tersebut di atas, masakan lain semisal gurami asam manis juga disukai. Tapi tidak perlu lah semua menu dibembreng di sini. Cukup.
Jadi, empat jenis masakan Chinese Food tersebut di atas adalah menu yang sering menjadi pilihan keluarga saya.
Bagaimana dengan pilihan anggota keluarga Anda?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI