Setelah tuntas membagikan keripik, saya nongkrong sejenak di warung Emak. Tumben penjual nasi uduk, gado-gado, dan lontong sayur pada jam sebelas lewat masih buka.
"Namanya juga berjualan. Bisa laris, bisa enggak."
Barang dagangan habis atau tidak habis, warung Emak tutup taklama setelah salat lohor usai. Barang dagangan tidak habis buat apa?
***
Duduk mengelilingi meja ada (nama disamarkan):
- Pak Dadan, pengusaha bahan dan alat kesehatan;
- Pak Dudun, rider ojek online;
- Pak Deden, guru muda mata pelajaran agama di sebuah SD Islam Terpadu.
Pak Dadan yang pertama melontarkan pertanyaan dan pernyataan, "barang dagangan tidak habis buat apa? Makanya, agar usaha lancar pakai jimat pelaris dong, Mak!"
Sejak saat itu obrolan tentang pelaris dalam berdagang makanan berlangsung seru. Masing-masing punya argumen sendiri.
Pelaris Paku Emas
Tahun 2000an penjualan di kafe yang saya kelola konsisten merosot. Salah satu penyebab, usaha kuliner sejenis berkecambah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Produk dijual relatif sama. Bedanya di soal atmosfer ditawarkan.
Pembeli potensial orangnya itu-itu saja. Ada tempat baru, ramai-ramai ke sana. Berkunjung ke tempat saya setelah sekian lama.
Menghadapi stagnasi penjualan, satu manajer mengusulkan solusi. Bukan jalan penyelesaian menggunakan cara-cara lumrah, tapi menawarkan pemasangan susuk pelaris: jimat paku emas!
Kisahnya dapat dibaca di: Susuk Paku Emas untuk Penglaris
Singkat cerita, paku emas ditanam pada satu balok kayu penopang atap lantai dua. Harapan semua orang terlibat melambung.
Berhasil mengangkat performa penjualan?
Tidak sama sekali. Tiga bulan omzet flat, malahan cenderung menurun. Tidak kuat menahan deg-degan di dada, saya berikut seluruh pegawai melakukan terobosan dalam pengelolaan. Menggunakan cara-cara rasional.
Upaya tersebut membuahkan hasil. Pelan, tapi pasti, kasir tampak lebih sibuk menginput captain order menjadi bill kepada para tamu. Saya tersenyum. Para pegawai tersenyum.
Pelaris ala Emak
Ada saatnya pengunjung warung Emak ramai. Barang dagangan habis. Gado-gado dan nasi uduk paling laris. Kalau habis, belum jam sebelas warung sudah tutup.
Ada kalanya sepi pembeli. Masih tersisa beberapa jenis makanan. Paling mencolok adalah gorengan.
Sisa sayur gado-gado, nasi uduk, dan lontong sayur dimakan sendiri atau dibagikan kepada tetangga yang dianggap membutuhkan. Sisa gorengan, mi dan mi goreng, dan penganan dengan jumlah layak dilimpahkan kepada pesantren tradisional di pinggir Kota Bogor.
Tidak rugi?
"Enggaklah. Insyaallah barokah. Kelak ada gantinya," Emak meyakinkan saya.
Mind set! Keyakinan bahwa berjualan ada saatnya untung (laris), di lain waktu rugi (barang tidak habis). Keyakinan menguatkan dan membuat bertahan yang kemudian membentuk jiwa dagang Emak.
Dalam praktiknya, jiwa dagang itu diwujudkan dalam bentuk:
- Buka lebih pagi, dibandingkan dengan pedagang sejenis.
- Diversifikasi dan inovasi. Untuk ukuran wilayah sekitar, Emak menawarkan banyak pilihan. Gado-gado, nasi uduk, lontong sayur, ketoprak, lontong bumbu, tongkol dicabein, telur balado, buras oncom, ketan serundeng, aneka gorengan, dan kopi seduh. Kadang bikin ubi rebus, ketimus (lemet, olahan singkong parut isi gula merah), perkedel, semur jengkol.
- Pelayanan ramah yang menyenangkan. Sesekali memberi bonus kepada pembeli dan pemulung yang membeli.
- Membuat produk berkualitas.
- Bersyukur.
- Bersedekah.
Penutup
Pak Deden dengan senyum khasnya membenarkan bahwa keyakinan merupakan kunci keberhasilan dalam berusaha. Selebihnya adalah memohon kepada Sang Maha Pemberi Rezeki. Ikhtiar dan berdoa.
Pak Guru muda nan ganteng kemudian mengilustrasikan sebagai berikut.Â
Keinginan agar dagangan laris ibarat orang punya HP hendak mengirim SMS berisi harapan, tapi tidak tahu cara mengirimkan berikut alamat tujuannya.
Bagi yang tidak percaya diri akan pergi ke orang pinter menyampaikan maksud minta pelaris. Orang pinter berbaju serba hitam menggunakan aksesoris berkesan misterius itu pun melakukan ritual:
Mulut komat-kamit sembari menuliskan pesan di telepon genggam, menekan tombol-tombol nomor, dan memencet "send" atau tombol hijau.Â
Ritual selesai. "Pasien" membayar jasa dan menerima jimat pelaris.
Berbeda dengan pelaris versi Emak, berupa keyakinan tertanam dalam diri bahwa akan memetik hasil dari kegiatan berjualan, sekaligus siap lahir batin menghadapi risikonya.
Maka, disadari maupun tidak, ia akan berjuang keras untuk menciptakan kondisi agar barang dagangan laris. Kemudian berdoa memohon kelancaran. Juga ikhlas bersedekah.
"Itu kuncinya," kata Pak Deden menutup pembicaraan.
Jadi, pilih pelaris yang mana dalam kegiatan usaha menjual makanan?Â
Silakan menentukan preferensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H