Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sketsa Distribusi Keripik dan Kisah Loper yang Tertatih-tatih

3 Januari 2023   05:55 Diperbarui: 3 Januari 2023   05:56 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bareng penjual kopi dan "polisi cepek" (dokumen pribadi) 

Kemarin pagi pukul 9.44 perusahaan ekspedisi mengabarkan, kurir akan mengantar kiriman dengan nomor sekian sekian. Pukul 10.48 kurir menelepon, menanyakan posisi rumah. 

Lima menit kemudian mobil van putih parkir di depan. Sopir sekaligus kurir menyampaikan paket dari Rawamangun Jakarta.

Pak Tjipta membeli produk keripik pisang sebanyak 58 bungkus dari usaha yang dirintis oleh Meli Afrida/Daeng. Jumlah menyimbolkan usia pernikahan Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina Effendi.

Ada dua kardus dibalut bubble wrap. Dus kecil berisi sembilan bungkus keripik pisang rasa original, saya kira, dan rasa cokelat. Sisanya di dalam dus besar belum sempat dibuka.

Foto kolase paket/kiriman keripik (dokumen pribadi)
Foto kolase paket/kiriman keripik (dokumen pribadi)

Selepas lohor dan setelah hujan reda, amanat dari Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina Effendi langsung dilaksanakan. Membagikan keripik kepada mereka yang kurang beruntung.

Langit lumayan cerah, sepertinya semesta mendukung misi mulia membagikan keripik.

"Polisi cepek" di simpangan jalan, pedagang kopi pinggir jalan, tukang tambal ban, penjual BBM eceran, tukang parkir, dan tukang becak menerima dengan rasa syukur. Tiap-tiap penerima membaca kertas bertuliskan nama sang dermawan nun jauh di Australia.

Kertas bertuliskan nama (dokumen pribadi)
Kertas bertuliskan nama (dokumen pribadi)

Mendoakan agar Pak Tjipta dan Bu Roselina dipanjangkan rezeki, usia, dan pernikahan yang awet. Itu kira-kira. Saya kesulitan menghafal satu demi satu doa yang dipanjatkan.

Umumnya mereka senang, bahkan tukang tambal ban tidak bisa menyembunyikan kegembiraan. Ajaibnya, lha kok penjual bensin eceran di sampingnya malah mengusap mata.

Lekas-lekas saya melanjutkan perjalanan, khawatir keburu mendung lagi. Dalam perjalanan bertemu dengan tukang becak, tukang parkir liar, dan loper koran.

Loper koran menerima keripik (dokumen pribadi)
Loper koran menerima keripik (dokumen pribadi)

Saya sangat mengenali wajahnya. Tidak banyak berubah kecuali cara berjalan yang lambat. Lebih lambat dibanding saya.

Dulu, tahun 1990-an, sangat gagah. Rutin mengirim harian Kompas ke almarhum Bapak. Pria bernama pak Aan itu sekarang jalannya tertatih-tatih.

Menurut pria berusia 67 tahun tersebut, kaki kiri sakit ketika melangkah. Pengapuran tulang atau apa, loper koran itu tidak bisa menjelaskan.

Perlu diketahui, orang-orang semacam Pak Aan enggan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Tidak cukup ongkos untuk berobat, begitu katanya. Lagi pula waktu adalah kesempatan mencari uang untuk sekadar membeli beras.

Jangan pula coba-coba tanya perihal BPJS atau perlindungan kesehatan lainnya. Pasti ia hanya akan menjawab dengan senyum.

Saya tidak mampu berkomentar lebih panjang pun tidak bisa berbuat apa-apa terkait penyakit diderita pak Aan. Cuma berdoa agar langkahnya dilapangkan.

Foto bareng penjual kopi dan
Foto bareng penjual kopi dan "polisi cepek" (dokumen pribadi) 

Cerita jadi ngelantur dah. Rencana mau berkisah tentang distribusi keripik, kok ya malah cerita tentang loper koran yang berjalan tertatih-tatih.

Alhasil hari ini, dalam satu jam saya hanya bisa mendistribusikan keripik sebanyak 7 bungkus.

Sebagian besar waktu termakan perbincangan dengan pak Aan, loper koran yang berjalan pincang karena kaki kiri sakit. Entah sakit apa.

Dengan gerakan kecil membagikan sedikit keripik kepada sedikit orang didapat pengalaman:

  • Pasangan idola, Pak Tjipta dan Bu Roselina, secara tidak langsung mengajarkan kepada saya tentang makna sesungguhnya dari memberi tanpa pamrih.
  • Berinteraksi dan memperoleh gambaran lebih dalam, dibanding sebelumnya, tentang kehidupan riil mereka yang kurang beruntung.
  • Mengindra dan merasakan beragam reaksi ketika mereka menerima keripik.
  • Merasakan emosi diri yang campur aduk, gabungan berbagai rasa yang sulit digambarkan. Lega, senang, gembira, hingga trenyuh.

Apa lagi ya?

Demikian sketsa perjalanan distribusi perdana. Hari Selasa ini saya berencana menjelajah ke daerah lebih jauh.

Semoga semesta mendukung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun