Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Makan dengan Sambal Simpel, Unik, dan Enak Banget

26 Desember 2022   06:59 Diperbarui: 26 Desember 2022   07:58 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setengah piring nasi, ikan nila goreng, mentimun, terong bulat, dan lalap daun (dokumen pribadi)

Seperti biasa, setelah berjalan kaki pada Sabtu kemarin saya melewati sebuah pasar. Ada satu hal yang menggoda untuk dihampiri. Apa itu?

Tahun 1990-an Pasar Merdeka merupakan pangkalan bemo dan angkutan kota, pindahan dari terminal depan stasiun yang sekarang menjadi alun-alun Kota Bogor.

Selain berfungsi sebagai terminal angkot, Pasar Merdeka juga merupakan pusat perdagangan onderdil kendaraan. Bukan baru, tapi suku cadang bekas.

Di bagian lain terdapat perdagangan hasil bumi, terbanyak adalah pisang. Kemudian berkembang, para pedagang menggelar lapak aneka sayur segar, bumbu-bumbu, pindang tongkol, tempe tahu, hingga ikan segar. Tidak terlihat pedagang daging. Atau saya datang kurang pagi?

Syahdan, pangkalan angkot "dijajah" oleh para pedagang. Area terminal menyempit. Lama-kelamaan menjadi tempat parkir dan ruang sementara untuk perbaikan mobil.

Angkot tidak memasuki terminal, tapi ngetem di jalan Sumeru dan jalan Perintis Kemerdekaan. Atau melintas perlahan di jalan sempit kiri kanan Pasar Merdeka seraya menarik penumpang.

Pada tepi jalan sempit yang lebih sepi terdapat kedai nasi Sunda. Terbuka lebar tanpa sekat, kedai penjual makanan diapit kios camilan dan ahli rekondisi lampu mobil. 

Juga memajang makanan di atas meja panjang secara terbuka. Ya. Terbuka tanpa penutup, kendati berada di tepi jalan di mana kendaraan sesekali melintas. 

Justru itulah yang menarik perhatian saya untuk mampir.

Di meja dengan level lebih tinggi terdapat aneka pepes (ayam, ikan mas, tahu), timun dan terong bulat, tumis teri, peyek udang, tempe tahu.

Di bagian bawah ada ikan (mas, gurami, nila) goreng, jeroan (paru, babat, usus, limpa) goreng, ayam goreng, ikan gabus asin goreng, dan banyak lainnya. Juga terdapat satu wajan berisi gulai ikan mas. Sayur asem tidak terlihat di foto.

Hidangan di atas meja (dokumen pribadi/akun Budi Susilo di Facebook)
Hidangan di atas meja (dokumen pribadi/akun Budi Susilo di Facebook)

Hidangan paling memanggil lalu menyeret kaki untuk menghempaskan pantat di kursi plastik adalah: sambal dalam cobek dan lalap!

Ke atas setengah piring nasi putih saya tambahkan ikan nila goreng, masing-masing satu buah mentimun dan terong buleud (bulat), sejumput daun selada, setangkai daun poh-pohan. Dan, of course lah sodara-sodara, sambal.

Maka acara makan siang dimulai. Tunggu dulu! Mentimun, terong dan daun-daun tidak dimasak?

Tidak lah yaw. Itu yang disebut lalap. Dimakan mentah bersama sambal. 

Sebetulnya masih ada jenis lalap mentah lainnya seperti kacang panjang, kubis, kemangi, kencur muda dan daunnya, pucuk daun mente, paria, leunca, tespong, antanan, dan lainnya yang saya tidak hapal. Beberapa orang melalap jengkol atau petai mentah (ini saya tidak berani coba).

Sejak keluarga berpindah dari Malang ke Kota Bogor, saya beradaptasi dengan masakan setempat. Kegemaran menyantap lalap lalu tumbuh saat bermukim beberapa tahun di Bandung.

Dengan dua keadaan di atas saya belajar mencintai masakan Sunda termasuk lalap, tanpa melupakan selera Jawa Timur. Dengan kondisi itu pula belajar mencintai mojang Jawa Barat. Eh...

Kembali ke sambal! 

Sambal cobek itu memang istimewa. Cuilan daging ikan, lembaran daun, dan sekepal nasi dengan sambal membuat mulut enggan berhenti mengunyah. Diselingi dengan menggigit mentimun atau terong yang terasa segar dan sedikit manis.

Apabila tidak ingat bahwa tiga pekan mendatang mesti cek darah, rasanya saat itu ingin tambah nasi, lauk (paru atau limpa memanggil- manggil), dan sambal.

Persoalan kolesterol dan trigliserida dalam darah menjadi kendala bagi saya untuk menuruti nafsu takterkendali. Maka, stay cool, habiskan nasi sampai butir penghabisan. Cukup adalah cukup!

Seraya menyerahkan lembaran dua puluh ribu saya bertanya, apa yang bikin sambal menjadi enak?

Wanita muda dari balik meja menerangkan, "cuman cabai jablai (rawit merah), terasi matang, tomat segar, dan garam diulek."

"Ulekan (ulegan, munthu) yang menumbuk atau cobek yang muter?"

Mojang penjaga kedai membelalakkan mata bintangnya.

Ternyata sambal dalam cobek terbuat dari bahan-bahan sederhana yang tidak digoreng terlebih dahulu. Tidak memakai bawang, gula, dan penyedap rasa, tetapi memiliki rasa khas dengan tingkat pedas sedang.

Sambal dalam cobek (dokumen pribadi/akun Budi Susilo di Facebook)
Sambal dalam cobek (dokumen pribadi/akun Budi Susilo di Facebook)

Sambal yang simpel, unik, dan terasa enak banget di lidah menemani menu makan siang. Satu ketika akan kembali menjajal lauk lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun