Tiga mobil hitam melesat menembus kelam. Karet-karet berdecit. Menggesek aspal ketika lengan sopir mematahkan setir ke kiri.
Tidak jauh dari tikungan tajam, pengemudi mengangkat kaki kanan. Telapak kaki kiri menekan sedikit demi sedikit pedal rem. Laju kendaraan berkurang.
Moncong mobil mengarah ke sebuah rumah.
"Tumben gerbang tidak ditutup. Ke mana para penjaga .....?"
Keheranan itu terpotong. Tiba-tiba dari depan sebuah mobil pelat merah --yang tidak sempat diingat angkanya-- menyembul. Meraung. Meninggalkan halaman. Melindas jalan. Ditelan gelap.
Tiga mobil tidak begitu mengindahkan ketergesa-gesaan tersebut. Para penumpang menyiapkan berkas dan peralatan lalu memusatkan perhatian kepada rumah dituju.
Sepuluh atau dua belas orang bergegas turun. Sebagian yang mengenakan topeng dengan senjata sigap mengawal rombongan.
Cahaya berhamburan dari dalam. Pintu mahoni terbuka lebar. Tidak perlu mengetuk, menekan tombol di kusen, atau bahkan mendobraknya.
Setelah mengucapkan salam, rombongan tegap memasuki rumah. Tiada siapa-siapa menyambut di ruang tamu.
Masuk lebih dalam ke ruang tengah mereka terperanjat. Menjumpai penghuni rumah --bapak, ibu, anak, dan ART---terikat pada kedua tangan dan kakinya. Pada mulut-mulut melekat lakban.