Ia berhenti di depan etalase.
"Makan ini aja!"
"Gak jadi makan ciken di kaefsi?"
"Ini aja. Lebih menarik."
Putri sulung saya yang waktu itu belum lulus SD menunjuk ayam goreng, tumis buncis, sambal, dan lalap sebagai teman setengah piring nasi.
Sama-sama olahan ayam, tapi ia lebih memilih ayam goreng bumbu serundeng di warung nasi berpenampilan bersahaja, daripada deep fried chicken berbalut tepung olahan restoran waralaba tersohor.
Lebih memilih warteg (warung Tegal) atau warsun (warung Sunda) bukan berarti menolak makan di restoran amrik.
Bukan hal aneh juga sih. Namun dibanding sepupunya yang doyan makanan cepat saji, preferensi putri saya ya cukup mengherankan.
Anak laki-laki dari kerabat dekat itu terbiasa makan ciken seraya minum kola. Juga doyan burger, daripada tempe tahu pun olahan ikan. Apalagi masakan sayur, tidak bakal dilirik. Kebiasaan makan itu terbawa sampai dewasa.
Awalnya saya mengajarkan anak agar lebih menyukai hasil masakan domestik. Perut selalu terisi sebelum pergi dari rumah.