Lama sekali pengemplang tidak muncul, belakangan datang menghampiri warung Umi. Bukan membayar utang, tapi memesan pecel untuk dibawa pulang seraya mengucap, "ntar ya, belum pegang uang."
Seperti biasa, Umi menjawab dengan senyum tanpa sekalipun protes apalagi menuntut. Berkehendak datang ke rumah pengemplang untuk menagih pun tidak.
Mereka bukan musafir. Mereka punya rumah, punya keluarga, punya penghasilan, tapi mengaku belum punya dana pembayaran.
Sedangkan kapital yang ditanam Umi untuk jualan pecel, sebesar Rp 100 hingga 150 ribu, belum tentu balik. Ditambah dengan piutang tak tertagih di tangan orang, maka jadilah modal kerja terkikis. Secara teoretis, rugi.
Umi berada di keluarga tidak kekurangan. Di usia 74 tahun, wanita yang ditinggal mati suaminya berjualan demi mengisi waktu. Mungkin anak mantu mendukung kegiatannya.
Berita baiknya, meskipun tidak sering, Umi mendapatkan uang dari pesanan makanan jadi untuk acara yang bersifat insidental. Sedikit mengurangi kerugian akibat piutang tak tertagih.
"Gak ditagih?"
"Enggak. Biarin aja, palingan gerah sendiri. Malu ke sini. Kalau nongol, bakal nganjuk lagi berarti tebel muka." (nganjuk, bs. Sunda = berutang).
Umi melanjutkan, bila seseorang memang tidak ada uang, tapi kepingin, lebih baik berterus terang. Pecel atau karedok atau rujak ulek akan dibuatkan.
"Rezeki mah tidak ke mana. Kalau minta, pasti dikasih ..."