Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cukai Naik Rokok Naik, Perokok Beralih ke Rokok Lebih Murah

26 November 2022   06:06 Diperbarui: 26 November 2022   06:49 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rokok ilegal dan kopi menemani saat berhening (dokumen pribadi)

Bagi penikmatnya, dalam keadaan kepepet, rokok merek apa saja jadi. Asalkan melihat bara kala diisap. Pun menyaksikan asap putih saat diembuskan.

Warung menjual barang kebutuhan sehari-hari ini lumayan ramai dikunjungi, baik pembeli maupun sales.

Nongkrong ngobrol kosong di depan toko kelontong beberapa kali ditinggal pemilik ke dalam. Melayani pembeli beras, kembang gula, minuman dalam kemasan, detergen bubuk seribuan, hingga rokok.

Beberapa kali ia meladeni tawaran dari sales motoris yang mengajukan barang untuk dijual kembali. Ada yang mengeluarkan aneka permen, mengganti stoples kosong atau menambah stok tinggal sedikit. Ada pula yang menawarkan sambal rentengan buatan Sidoarjo.

Motor sales sambal rentengan (dokumen pribadi)
Motor sales sambal rentengan (dokumen pribadi)

Satu sales mengeluarkan bungkusan biru dari kantong samping kiri kanan motor. Isinya tidak dapat diterka.

Setelah membayar tunai barang-barang tersebut, barulah Uda pemilik warung santai melanjutkan kegiatan ngopi dan ngrokok. Menjelaskan bahwa motoris terakhir adalah sales dari distributor rokok ilegal.

Umumnya sepeda motor sales rokok dilengkapi dengan boks fiberglass dengan tulisan. Jenis dan merek jelas terlihat dari slop yang dikeluarkan dari boks. Takada yang perlu disembunyikan.

Berbeda dengan yang terakhir. Tidak tampak tanda-tanda bahwa ia membawa beberapa slop rokok ilegal. Mereknya tidak terdeteksi sebab tertutup rapat.

Menurut Uda pemilik warung, rokok ilegal mulai masuk ke tempatnya dalam 2 minggu terakhir.

Rokok ilegal adalah rokok yang beredar di pasaran dengan tidak memenuhi kewajiban cukai. Cirinya: tidak ada pita cukai; melekatkan pita cukai palsu, atau pita cukai bekas pakai, atau pita cukai berbeda (kemenkeu).

Pemalsuan cukai, produksi, dan mengedarkan rokok ilegal dapat dikenakan sanksi pidana kurungan 1 sampai 8 tahun, dan/atau denda 2 hingga 20 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar (sumber).

Ancar-ancar pihak Kementerian Keuangan, peredaran rokok ilegal mencapai 3 persen dari total rokok beredar pada tahun 2021 (sumber).

Harganya? Saat artikel ini ditulis, rokok ilegal dijual 9-10 ribu per bungkus isi 12 dan 20. Yang laris harganya merambat naik menjadi Rp 14 ribu sebungkus.

Kira-kira separuh dari harga rokok resmi atau bahkan kurang dari setengahnya.

Sebagai perbandingan, harga sebungkus rokok dengan cukai resmi bervariasi dari Rp 14.000, Rp 23.000, Rp 28.000, hingga Rp 40.000.

Merayap naik dari harga sebelumnya, setelah pemerintah mengumumkan kenaikan cukai rokok pada tahun depan (sumber).

Rokok ilegal, menurut keterangan Uda, mulai dicari pembeli. Satu merek bisa laku satu slop dalam sehari.

Ada dugaan, terjadi pergeseran konsumsi, dari membeli rokok bercukai resmi ke rokok ilegal. Kira-kira demikian menurut pendapat orang-orang jalanan yang biasa nongkrong di depan warung.

Penelitian mendalam tentang korelasi antara cukai rokok, kenaikan harga, pergeseran selera merokok biar menjadi pekerjaan mereka yang kompeten.

Kendati mahal, sebagian orang tetap membeli rokok favoritnya sembari menggerutu. Lainnya menukar uang dengan rokok lebih murah. Rokok ilegal. Namun ia mesti sedikit mengubah selera.

Bagi penikmatnya, dalam keadaan kepepet, rokok merek apa saja jadi. Asalkan melihat bara kala diisap. Pun menyaksikan asap putih saat diembuskan.

Lima tahun lalu saya "berhening" selama seminggu di satu desa di kaki gunung Salak.

Suatu hari kehabisan rokok (waktu masih perokok berat). Mencari rokok favorit berharga 16 ribu ternyata takada. Kalaupun ada, rokok kretek tanpa filter bercukai resmi ditawarkan dengan harga 13 ribu, seribu rupiah lebih mahal bila membelinya di kota.

Saya tertarik kepada bungkus rokok berwarna hijau tua dan biru, merek yang juga baru saya ketahui, ditawarkan dengan harga Rp 6 ribu dan Rp 8 ribu masing-masing isi 12 batang.

Saya ambil satu bungkus hijau tua (mereknya Tebu) dan satu bungkus rokok berwarna biru (lupa namanya).

Di tempat peristirahatan dinikmati. Ternyata rasanya lumayan, jika tidak mau dibilang tidak terlalu enak. Namun lama-lama terbiasa juga sebagai pengganti rokok yang biasa dikonsumsi. Dingin sih!

Selera, kegemaran, akhirnya menyesuaikan dengan rokok yang ada. Mengisap rokok ilegal pun jadi. Penting ada asapnya.

Barangkali begitu cara berpikir pembeli rokok ilegal. Beralih dari rokok bercukai resmi yang naik dan akan terus naik, ke rokok lebih murah. Ternyata tidak masalah.

Bagi perokok: sama-sama menghasilkan kenikmatan, sama-sama mengeluarkan asap. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun